DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Rabu, 30 Mei 2012

The Dragon's Eye: Mata Naga (Erec Rex, #1)The Dragon's Eye: Mata Naga by Kaza Kingsley
My rating: 4 of 5 stars

petualangan dimulai dari awal buku. Erec Rex yang tiba-tiba mengetahui ibunya menghilang (berkat informasi pikiran berkabut) langsung memutuskan misi untuk dirinya sendiri, yaitu menemukan ibunya. Pencarian membawanya ke dunia Kaum Setia, tempat orang menyadari dan menggunakan sihir.

Petualangan fokus pada menemukan ibunya, yang membawa Erec mengikuti kontes untuk menentukan Raja selanjutnya. Beragam kontes dijalani, dengan tetap fokus pada misi awalnya. Lalu disinilah banyak rahasia yang tak pernah diketahui Erec tentang dirinya di masa lalu yang terungkap.

Alurnya berputar cepat. Sayang masih kurang greget untuk pertarungannya, cenderung sedikit dan kurang menantang. Mungkin lebih greget lagi kalo erec sering dibuat terluka parah, jangan hanya sekali saat melawan setan bayangan.

tapi tetap saja bagus, terutama karena banyak rahasia, dan cerita menggantung diselipkan. sampai akhir, akan sulit menemukan mana yang bisa dipercaya, mana yang pengkhianat.

pengen nyari buku selanjutnya, sayang di perpus ga ada *lirik rak perpus -_-"

View all my reviews

Senin, 28 Mei 2012

Name of the GameName of the Game by Fidriwida
My rating: 2 of 5 stars

udah lama bacanya, setengah ingat ceritanya. problemnya mirip-mirip serial hanazakari no kimitachi e, ya masalah cewek yang dikira cowok, terus menyembunyikan identitas aslinya. si cowok jatuh cinta dan mengira dirinya menjadi homoseksual, terus akhirnya senang pas tahu ternyata yang disukainya seorang cewek. (titik tanpa koma)

ya gitu deh, dan menurut saya, ini biasa. (titik lagi tanpa koma lagi)

*abaikan...

View all my reviews

Jumat, 25 Mei 2012

Ramzi dan Kesatria BentengRamzi dan Kesatria Benteng by Raliesta
My rating: 2 of 5 stars

Bercerita tentang Ramzi, anak kecil yang orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil, dan setelah itu tinggal serumah dengan Paman dan bibinya, serta dengan Dhani, sepupunya. Dhani selalu mengganggu Ramzi dengan perlakuan yang tidak baik, sampai akhirnya emosi Ramzi memuncak dan merancang cara untuk mengalahkan Dhani.

Dhani, yang merupakan preman sekolah, mencoba menguasai lapangan Teluk Angsan bersama gengnya, Tim Bomber. Ramzi harus mencegahnya, lapangan itu adalah milik umum, anak-anak harus bebas menggunakannya. Maka Ramzi menantang Tim Bomber melalui permainan petak benteng. Tim Ramzi sendiri dinamai Ksatria Hutan Hijau.

Dalam perjalanannya, cerita ini berkembang mengarah pada intrik rahasia terkait niat salah satu pengusaha yang akan mengubah sekolah menjadi swalayan. Di sinilah petualangan dimulai.

Cerita ini sebenarnya mengangkat tema sederhana, sangat mudah dicerna oleh anak-anak. Mengangkat tema bahwa kebaikan selalu menang dari kejahatan, meski bagaimanapun kejahatan itu menggunakan caranya. Sesuatu yang perlu ditanamkan pada anak-anak sejak kecil.

Sayangnya, ada beberapa hal yang kurang sreg di saya. Saya tak tahu apa itu permainan petak benteng. Meski di sini digambarkan dengan begitu detail, saya tetap tak dapat menangkap permainan jenis apa itu. Mungkin karena permainan itu tak saya mainkan saat masih kecil dulu, mungkin juga saya tipe orang yang paham sesuatu by experience.

Kedua, saya kurang suka ketika di buku ini, setelah mengalami perlakuan yang kurang baik dalam waktu yang lama oleh Dhani, digambarkan dengan sangat jelas bahwa Ramzi menyimpan dendam atas Dhani dan berniat membalasnya suatu saat nanti. Ok, itu hal wajar. Tapi sebagai tokoh protagonis, dan hero bagi anak-anak, alangkah baiknya bahwa alasan menentang Dhani bukan karena dendam atau disakiti, tapi karena menentang kejahatan dan rencana jahat Dhani. Saya pikir itu lebih mencerminkan jiwa pahlawan seorang anak.

Selanjutnya, cerita ini begitu datar. Saya kurang bisa menyelami karakter tiap tokohnya. Bahkan ketika permainan dimulai dan menegangkan, saya tidak merasa terlibat di permainan itu, tidak merasa sebagai penonton langsung. Hanya sebagai orang yang mendengar pertandingan itu dari mulut orang lain, yang entah menonton atau mendengar dari orang lain juga.

Mungkin sebenarnya salah ada di saya sih ya, kurang tahu apa itu petak benteng, padahal inti cerita ada di situ. Sementara cerita intrik sekolah akan diubah menjadi swalayan hanya diselipkan menjelang buku berakhir, jadi kurang terasa gregetnya.

Gitu aja deh, mau minjem buku yang lain lagi ^^

View all my reviews

Sabtu, 19 Mei 2012

Rumah LebahRumah Lebah by Ruwi Meita
My rating: 5 of 5 stars

pertama lihat covernya, saya pikir ini cerita tentang rumah yatim piatu, dan anak di dalamnya. ok, saya salah besar. tak ada rumah yatim piatu, yang ada hanya kisah seorang anak kecil.

cerita dimulai dengan seorang anak yang tiba-tiba berada di atap rumah di tengah malam, membuat orang tuanya bingung. anak ini bernama Mala, dan dia menggumam nama-nama yang tak jelas. dari sini kita dibawa pada persepsi bahwa ada sesuatu yang tak beres pada Mala. alur berlanjut pada tahun ke depannya, saat keluarga ini pindah rumah ke Ponorogo. tujuannya, menyembuhkan Mala. Mala yang sudah bertingkah tak seperti anak kecil normal, sering membicarakan nama-nama yang tak pernah ada wujudnya, sebatas khayalan, menurut anggapan orang tuanya. Ibunya bernama Nawai, ayahnya Winaya.

anggapan awal Mala adalah anak indigo, ini pendapat Martha, teman Nawai. berlanjut menjadi dugaan autis. Nawai dan Winaya tak bisa menerima ini, mereka hanya menganggap Mala kesulitan berhubungan sosial dikarenakan tingkat otaknya yang disebut jenius, untuk seorang anak yang bari kelas 2 SD, bisa baca tulis di usia 5 tahun. dan benar, Mala memang jenius.

kisah berlanjut menuju perkenalan mereka pada seorang artis dan pacarnya yang sedang berlibur di dekat rumah keluarga Mala, yang kebetulannya artis bernama Alegra ini akan membintangi film adaptasi dari novel Winaya. diantara itu semua diselipkan cerita tentang Nawai yang selalu merasa ngantuk, mudah lelah dan sering tertidur tanpa sadar. dan yang ini akan sangat panjang ceritanya.

intrik terjadi melibatkan orang-orang ini, dan seorang wartawan yang ditemukan terapung di danau, terbunnuh, di daerah keluarga Mala tinggal. selanjutnya adalah titik terang tentang apa yang sebenarnya terjadi, yang cerdiknya, semua baru terungkap di beberapa halaman terakhir, menciptakan efek klimaks yang memukau.

saya merasa setting ini mengambil tempat di Telaga Ngebel Ponorogo. kebetulan saya menghabiskan masa SMA saya di kota ini. dan sepengetahuan saya, hanya lokasi ini yang memungkinkan. sebenarnya ada Telaga Sarangan, yg terletak di Magetan, berdekatan dengan Ponorogo, tapi saya tak yakin, mengingat di buku ini disebutkan danau itu asli buatan alam, dan Sarangan adalah buatan manusia (sepengetahuan saya). hawa dingin, rimbun pohon dan dermaga tempat orang berjualan, serta tempatnya yang sepi, juga menjadi nilai tambah, karena Sarangan cenderung lebih ramai daripada Ngebel. saya pernah beberapa kali kesana saat sekolah dulu.

saya sangat kagum dengan bagaimana Ruwi membawa interpretasi saya untuk mengarahkan bahwa Mala mengidap sesuatu yang tak beres, dan menjadi sentral cerita ini. tapi ternyata tidak, karena justru yang tak beres berada pada Nawai. segala persepsi tiba-tiba terbalik. meskipun saya menyadarinya pada bab pertengahan buku ini tentang penyakit Nawai. saya masih ingat dengan buku Nasrudin Hoja yang belum lama ini saya selesaikan, kasusnya hampir sama, tapi lebih rumit kasus Rumah Lebah ini. mengingat di sini tak hanya melibatkan satu sosok, melainkan 6 sosok. jadi cukup rumit menyambungkannya. pada awalnya saya terkecoh, tapi di pertengahan saya sadar, karena pola Nawai tidur yang tak biasa. sama dengan yang tiba-tiba dialami Kaisar pada kisah Nasrudin Hoja.

saya lebih terkesan lagi dengan endingnya, dimana Mala dengan pikiran polosnya, meyakini tindakannya sudah benar. hukum keseimbangan. dan berhasil melakukannya. saya tak menyadari bahwa yang dilakukan Mala dari awal buku ini sampai menjelang akhir adalah untuk satu tindakan yang menjadi ending. menjadi rahasianya sendiri. hanya pembaca, Mala dan Tuhan yang tahu.

jadi begitulah, saya suka. apalagi saya menghabiskan buku ini saat seharusnya saya sudah mengantuk, tapi tiba-tiba hilang, setelah seharian berkutat di jalanan jakarta, berjalan dari satu museum ke museum lainnya, berjalan kaki.

5 bintang saya persembahkan.

View all my reviews

Senin, 14 Mei 2012

The Tale of Flick



Pada suatu zaman, dimana keseimbangan dunia telah mulai hilang, dan hanya diisi dengan perang dan kekuasaan. Pada tiap-tiap bagian dunia, daerah kekuasaan terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu wilayah manusia ksatria dan wilayah hewan ksatria. Namun di antara mereka seperti ada sebuah perjanjian tak tertulis dimana manusia ksatria tidak boleh menyerang dan merebut wilayah hewan ksatria, begitu pun sebaliknya. Hal ini telah berlangsung selama ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun. Tak tahu sejak kapan hal ini disepakati.

Namun pada zaman ini, perjanjian kuno itu telah diselewengkan. Memang benar diantara keduanya tak ada yang menyerang satu sama lain, tapi banyak yang menyiasati peperangan dengan cara berkoalisi, saling memanfaatkan satu dengan yang lain. Memanfaatkan permusuhan untuk mencari kawan. Dimana manusia ksatria bersatu dengan hewan ksatria untuk mengalahkan musuh yang sama, demi mencari keuntungan masing-masing. Sungguh zaman dimana tradisi hanya tinggal nama, semua telah buta akan kekuasaan dan kemewahan.

Tapi di antara mereka tentu saja masih ada yang mempunyai hati, dan merasa prihatin dengan keadaan dunia sekarang ini. perang, kehancuran, mayat-mayat telah menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak negara dibumihanguskan, dibakar, dan penduduknya dijadikan budak. Sungguh ironis, dimana mereka masih menyandang gelar ksatria, tapi kelakuan kebanyakan mereka adalah penjahat. Tapi beruntunglah dunia, selalu ada cahaya putih di tengah pekatnya kegelapan.

***

“jangan terlalu jauh, di bawah masih terjadi perang!!” Teriak ibunya dari ujung goa. Flick hanya tersenyum, pura-pura tak mendengar. Dari jingganya matahari sore, sepasang sayap Flick membentang, mengepak indah, membuat bayangan di batu-batuan gunung Olympus. Ya, inilah hobi Flick, meloncat dari batuan tertinggi gunung, meluncur ke bawah dengan cepat hingga sebelum menghempas tanah, dan dalam sepersekian detik membentangkan sayapnya, terbang menyusur tebing-tebing lancip batuan. Sayangnya, pemandangan tak lagi seindah dulu, tak lagi seperti sore dulu. Di bawah gunung hanya ada api yang membara, hanya ada dentuman, ledakan, dan percikan adu pedang. Perang sedang berkecamuk. Dan itulah yang membuat khawatir ibunya. Takut ada senjata salah sasaran yang justru akan melukai Flick.

Flick adalah seekor Pegasus. Dia hidup di goa-goa dan batu-batuan gunung Olympus. Dan di zaman ini, Pegasus adalah makhluk yang netral, dimana mereka tak ingin terlibat dalam satu perangpun. Pegasus hanya ingin hidup damai. Sebagai hewan ksatria penguasa gunung Olympus, tentu ada banyak dari kalangan manusia ksatria yang menawarkan koalisi, dan semua ditolak. Semua telah tahu kekuatan koloni Pegasus, sementara perang berkecamuk dimana-mana, koloni Pegasus tetap aman.

Flick mengepakkan sayapnya lebih kencang, mengambil posisi memutar, kembali ke tempat semula, dimana ibunya telah menunggu. Flick disambut dengan pelototan marah ibunya, dan Flick hanya nyengir masam.

“apa yang ibu bilang kau tak boleh melakukan itu lagi! Kamu tak lihat di bawah sedang perang? Bagaimana kalau ujung panah manusia-manusia itu terbang menembus tubuhmu? Kamu pikir manusia itu sedang main-main?” bentak ibu Flick. Flick hanya menunduk, memasang tampang bersalah. Biasanya ibu langsung berhenti ngomel kalau aku diam sambil mengangguk-angguk pura-pura mengerti dan menurut..hehe,pikir Flick. Dan begitulah, Flick hanya diam sampai ibunya kehabisan kata-kata dan mengajaknya pulang, masuk ke daerah terlindung gunung Olympus, dimana koloni Pegasus tinggal.

***

Seseorang berbadan kekar berbaju zirah mendaki tebing batuan curam dengan nafas terengah-engah. Jauh di bawah sana nampak prajurit dan pengawalnya menatap ke atas dengan berdebar-debar cemas. Seperti begitu takut kalau akan terjatuh. Mulai terdengar letupan-letupan suara meledak dari arah puncak tebing, mengirimkan hawa panas ke aliran batuan tebing. Sebentar lagi, pikirnya. Tangan kekar itu mulai gemetar saat menyentuh pegangan batu terakhir, sebelum akhirnya melompat berdiri di puncak tebing yang landai.

Di depannya berdiri kubangan lava meletus kecil-kecil, membuyarkan uap air panas bercampur serpihan api. Sejenak hatinya gentar, berpikir ulang tentang rencananya. Dia adalah Raja Negeri  Albrust, negeri para ksatria pemanah, bernama King Quinc. Dan di puncak sini, dia punya tujuan khusus, awal dari segala mimpinya.

“Tunjukkan wujudmu wahai ksatria hewan!! Aku King Quinc, dari Negeri Albrust, datang khusus kesini menemuimu untuk menawarkan koalisi yang akan membawa pada kejayaan kita bersama!” Teriak King Quinc, suaranya membahana, bahkan sampai terdengar di kaki tebing, dimana para pengawalnya berada. Tetapi masih tak ada jawaban, tak bergeming sedikitpun.

King Quinc mulai cemas, jangan-jangan rencananya ini sesuatu yang salah. Dia telah mengambil risiko dengan mendaki tebing curam ini, mempertaruhkan nyawanya, bahkan senjata Panah Konusu andalannya tidak dia bawa, dititipkan pada pengawalnya di bawah sana.

“Muncullah kau wahai hewan ksatria! Apakah kau sudah sedemikian kecil sehingga kau tak berani bertemu dengan manusia ksatria sepertiku!” lanjut King Quinc mencoba mengintimidasi. Harapannya terkabul. Buih-buih lava meladak-ledak, menciprat ke permukaan tebing, meninggalkan noda hitam mengerikan. Lalu muncullah dia, yang ditunggu-tunggu. King Quinc tersenyum menang.

Dia telah berdiri di depan King Quinc, seekor burung raksasa. Bukan burung biasa, dimana seluruh tubuhnya ditutupi dengan api yang menyala. Sayapnya terbentang besar, mengobarkan panas tiada tara. Matanya menatap nanar King Quinc di depannya, yang menjadi seolah begitu kecil. Dia adalah Burung Phoenix, sang Hewan Ksatria Api.

“Apa maumu manusia?” suara Phoenix, yang bahkan sampai menggetarkan puncak tebing. Sejenak King Quinc merasa gentar. Tak pernah dibayangkan akhirnya bisa bertemu Phoenix yang merupakan ksatria yang didengarnya sejak kecil, dari mendiang kakeknya.

“Aku, King Quinc, menawarkan suatu koalisi yang akan membuatmu tertarik. kau dapat mempercayaiku, sebagaimana aku pun mempercayaimu. Ini adalah janji antara Ksatria, yang disaksikan dewa-dewa penguasa di atas sana. Apakah kamu tertarik untuk mendengarnya wahai Gegrild, sang Phoenix?” ucap King Quinc dengan seluruh keberanian yang dipunyainya.

Gegrild dan King Quinc berpandangan lama. Tak ada yang tahu apa yang terjadi berikutnya, seperti pengawal dan prajurit di bawah tebing yang semakin cemas memikirkan nasib rajanya.

***

Dewan Kehormatan Pegasus sedang mengadakan rapat di aula Istana. Para pejabat Pegasus sampai sesepuh Pegasus berada di sana. Wajah mereka nampak serius, tak ada tanda-tanda rileks. Semua kaku. Beberapa nampak duduk gelisah di bantalan yang didudukinya, beberapa mengeluarkan keringat dingin, tapi banyak juga yang saling pandang satu sama lain, tanpa ada kata yang terucap.

“Apakah memang sudah waktunya Tuan Sphire?” akhirnya ada pegasus yang memecah keheningan. Semua mata kembali fokus.

Sesepuh pemimpin sidang menjawab,”Ya Jocb, kita harus sudah bersiap-siap. Beberapa hari yang lalu aku mendapat kabar dari divisi Intel Rahasia, Krug telah memastikan hal itu. Tinggal menunggu waktu saja untuk sampai di sini.” Tegas pegasus yang dipanggil tuan Sphire.

Satu lagi menginterupsi,”Tapi kita belum punya sosok yang tepat. Dan dalam waktu yang semakin sempit ini, bagaimana kita bisa memilih? Lagipula, bukankah peperangan di Tanah Bawah itu masih berlangsung, dan sepertinya belum akan selesai?”

“tidak begitu Furl, di sana hanya tinggal prajurit-prajurit kecil yang tak lagi diperhitungkan nyawanya. Itu hanya taktik. Mereka telah memikirkan rencana selanjutnya, sebuah langkah yang lebih besar. Dunia ini sudah tak seimbang. Tradisi yang telah turun temurun dijaga, kini hanya tinggal petuah mainan. Dan kalau kita masih bersantai-santai saja, masih menunggu tanpa bertindak, kita baru akan sadar saat semua sudah terlambat. Mau tidak mau, kita harus mengambil keputusan, siapa yang telah ditakdirkan untuk melaksanakan tugas ini. kita tak bisa menunggu lebih lama lagi.” Sphire tegas menjawab. Semua peserta rapat terdiam, menyelami perkataan Sphire. Beberapa mengangguk-angguk. Sudah diputuskan.

Sementara itu, di ruang berbeda, Flick sedang berlatih ilmu peperangan dengan teman-temannya. Mengulang jurus-jurus yang telah diajarkan mentornya kemarin, sekaligus mempraktekkan seluruh teknik yang telah dipelajarinya. Flick mempunyai ketangkasan di atas rata-rata, sayang tekniknya masih amburadul, cenderung sesuka sendiri, bahkan memodifikasi teknik yang telah dipelajarinya. Kadang itu membuat mentor berang, tapi sangat menyenangkan bagi Flick, dimana dia bisa berbuat sesuka hati.

Beberapa variasi jurus dan serangan dengan kedua sayapnya, dengan kakinya, maupun dengan hatalom, sejenis kekuatan dari dalam tubuh ksatria hewan, dimana setiap hewan ksatria memilikinya. Hatalom memiliki kekuatan yang tak terbatas, tergantung bagaimana pengguna mengembangkan dan melatihnya, bahkan senjata manusia ksatria pun bisa dilumpuhkan. Hanya yang belum disadari oleh Flick, bahwa dia menyimpan hatalom besar dalam tubuhnya, yang belum pernah diperlihatkannya pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri.

***

“bagaimana Tuan? Apa yang terjadi di atas tadi?” Seseorang di samping King Quinc bertanya, ketika mereka berjalan kembali menuju Negeri Albrust. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya tadi King Albrust turung dari tebing, diiringi suara gemuruh yang memekakkan telinga. Tak ada yang berubah dari King Quinc, tak ada luka satupun. Sepertinya pertemuan tadi berlangsung alot, tapi tak sampai menimbulkan pertempuran.

King Quinc hanya memandang jauh ke depan, ke jalan setapak yang perlahan berkelok, dimana kiri dan kanan hanya tersisa daun dan pohon terbakar, hangus dan gosong, bekas perang sebelumnya. “apa kau benar-benar ingin tahu penasehat Bound?”

“mohon ampun Tuan atas kelancangan hamba.” Segera Penasehat Bound menundukkan kepala, meminta maaf.

“Haha..tak ada yang perlu dimaafkan Bound. Tapi kau hanya perlu melakukan beberapa hal untukku. Yang pertama, pastikan kau sudah menyiapkan semua tentara dan prajurit perang kita lusa hari, yang kedua, pastikan Gegrild tidak berkhianat dan berikan apa yang dia inginkan. Kau mengerti?”

“maksud Tuan, Gegrild sang Phoenix bersedia berkoalisi dengan kita?” Penasehat Bound tampak tak percaya.

“Tentu saja. Berkat informasi darimu, penawaranku sungguh membuatnya tergoda. Semua mendapatkan untung.”

“kalau begitu, dia hanya menginginkan itu saja?”

“ya...dia menginginkan Petir Zeus yang disimpan Koloni Pegasus. Kita akan menguasai tanah mulia Koloni Pegasus, dan Gegrild mendapatkan Petir Zeus. Kita akan menjadi penguasa generasi manusia ksatria, dan Gegrild menguasai generasi hewan ksatria!” wajah King Quinc tampak begitu bersemangat, terbayang sudah di depan matanya kejayaan dirinya yang akan diingat sejarah, dimana namanya akan selalu terdengar selama generasi-generasi selanjutnya.

Sementara itu di puncak tebing berkubah lava, Gegrild memandang dunia dari mata merahnya. Betapa dunia sekarang begitu indah menurutnya, karena ada api dimana-mana, di daratan, di gunung, di hutan dan di perkampungan. Zaman peperangan masih berlanjut, dan api masih dikobarkan. Api-api itu selalu membuatnya bersemangat.

Masih terbayang pertemuannya dengan King Quinc tadi, yang datang menawarkan koalisi peperangan menggempur Koloni Pegasus. Entah darimana King Quinc tahu tentang keinginannya, karena cerita itu kini hanya menjadi mitos. Bahkan sekarang sudah tak terdengar lagi. Cerita tentang adanya Petir Zeus, yang diberikan kepada Pegasus, bergenerasi-generasi yang lalu, dimana seharusnya Petir itu diberikan kepada Phoenix. Kejadian itu terjadi di zaman nenek moyang Gegrild dulu kala, tapi selalu diceritakan turun temurun ke anak cucunya. Dendam yang selalu diturunkan, sampai saat Petir itu bisa kembali direbut.

Dentingan pedang beradu, ledakan bom menghantam istana, erangan suara kematian, menghiasi sore hari, dimana Gegrild akan menjemput takdirnya.

***

“Harus saya akui, dia memang bebal. Tapi untuk urusan petualangan, dia jagonya. Kekuatannya dalam bertempur pun tak diragukan lagi, bakat itu melekat padanya. Sayangnya dia memang malas berlatih. Memang ada apa sampai anda menanyakan hal ini Tuan?” sang mentor bertanya.

Tuan Sphire mendekat ke arah mentor,”Begini mentor Estrunth,”ucapnya setengah berbisik,”seperti yang telah kau ketahui, tanda-tanda peperangan akan mencapai wilayah ini sudah dekat. Takdir itu telah tergambar jelas, sebagaimana telah dikabarkan oleh sesepuh yang lain. Dan kau tentunya tahu pula amanat apa yang telah dititipkan pada Koloni Pegasus, jauh bertahun-tahun yang lalu. Mungkin kinilah saatnya titipan itu kita kembalikan, sekaligus mengembalikan dunia sebagaimana semula, dimana kedamaian menjadi intinya. Kita butuh sayap yang kuat untuk menerbangkannya, butuh nyali yang besar untuk menantang bahayanya, butuh tenaga yang besar untuk menaklukkan tantangannya. Dan satu hal lagi...” Tuan Sphire diam sebentar.

“apa itu?” mentor Estrunth penasaran.

“dia harus tak dikenali, tidak oleh musuh kita.dimana kekuatannya belum terekspos. Dan aku butuh anak muda untuk tugas itu.” Lanjut Tuan Sphire.

“apa tak bisa dari divisi khusus Intel yang melakukannya? Bukankah mereka sudah terlatih?”tanya Mentor Estrunth.

“tak bisa, divisi Intel akan berjaga di sini, menahan gempuran. Mulai sekarang kita harus selalu waspada. Dan hanya anak muda yang memiliki tekad kuat, yang harus pergi melaksanakan tugas itu. Ditambah lagi, dia memiliki tanda itu di balik sayapnya, tanda penerus ksatria sejati. Tanda yang sama.”

Mentor Estrunth menghela nafas, tertahan,”apa kau sudah memberitahunya? Orang tuanya?”
“ya, mungkin sekarang mereka sudah mengatakan itu pada Flick. Mungkin mereka sedang menangis sekarang.” Mereka berdua terdiam lama.

Sementara itu di rumah keluarga Flick, tangisan itu tak pernah terdengar.

“apa? Wah jadi aku yang harus kesana, tentu saja aku mau ayah! Hahaha...daripada bosan di sini, mending bertualang di luar, itu jauh lebih mengasyikkan.” Suara kegirangan Flick membahana di ruang kecil rumahnya.

“hahaha..aku tahu kamu akan senang. Karena itulah aku menawarkan dirimu untuk tugas ini, bahkan aku sampai mengarang pada Tuan Sphire bahwa kau memang yang ditakdirkan karena kamu mempunyai tanda khusus dari nenek moyang Pegasus.” Ayahnya tertawa.

“tapi bagaimana pun itu tetap berbahaya, siapa yang tahu nanti di jalan ada bahaya yang menunggunya?” ucap Ibu Flick, dengan muka lempeng, tenang.

“tanda apa, aku tak merasa punya tanda?”tanya Flick bingung.

Ayahnya tertawa lagi,”jangan pikirkan, itu hanya karanganku saja, biar kau yang berangkat ke sana. Itu hanya untuk mengelabuhi Tuan Sphire. Sudah sekarang kau harus tidur, simpan tenagamu untuk perjalanan yang panjang. Kau butuh banyak istirahat sekarang.”

“baik ayah.” Flick beranjak menuju peraduan, terlelap.

“apa akan baik-baik saja? Dia bahkan tak tahu bahaya yang mengancamnya?” tanya ibunya, selang beberapa lama.

“aku hanya tak ingin dia berperang, aku tak ingin dia mati di sini bersama kita. Aku hanya ingin menyelamatkannya.” Ayah Flick mulai menitikkan air mata.”Bukankah kau sudah tahu, tanda itu memang ada padanya, dialah yang ditakdirkan. Biarlah dia tak mengetahuinya, yang penting dia selamat dulu.”

Ibu Flick ikut menangis, sementara di dalam sana Flick lelap bermimpi.

***

Pasukan Negeri Albrust telah tiba di kaki gunung Olympus. Matahari pagi baru saja menyingsing, ketika terompet perang dikumandangkan. Sontak koloni Pegasus yang masih lelap tidur, bangun seketika. Angin gunung yang biasanya menusuk dingin, kini terasa begitu panas. Dari arah utara, melayang gulungan api merah menyala, bahkan energi panasnya membara sampai ke sudut-sudut goa di gunung Olympus. Tuan Sphire yang telah terjaga tertegun, memandang semua tak sesuai perkiraannya. Sebenarnya hanya satu perkiraannya yang meleset, tapi telah mengubah semua peta persiapannya. Dia yang di sana, yang sedang terbang bersama gulungan api, saudara tua koloni Pegasus, sang Phoenix.

“Tuan Sphire, tampaknya musuh yang satu ini sama sekali jauh dari kata mudah. Ini benar-benar perang yang sesungguhnya...” terdengar suara Pegasus gagah, Krug, ketua divisi Intel.

Tuan Sphire tersenyum kecut,”ya, persiapkan pasukanmu sebaik mungkin. Ucapkan perpisahan pada keluargamu sedini mungkin. Kali ini kita benar-benar tak tahu apa yang akan terjadi. Tak kusangka Gegrild akan ikut ambil bagian...” Tuan Sphire diam sejenak,”Apa dia sudah berangkat? Benda itu sudah dibawanya bukan?” lanjut Tuan Sphire.

“Ya, Flick telah berangkat. Dia harus bisa menyampaikannya kepada Zeus, perang di dunia ini harus diakhiri. Beruntunglah Gegrild tak tahu akan hal itu. Kita harus menahannya di sini selama mungkin. Semoga tak terjadi apa-apa pada Flick.” Tandas Krug. Tuan Sphire memutar tubuhnya, mendekat ke arah Krug.

“baiklah...saatnya kita mulai pertunjukan.”

Lalu bersinarlah Gunung Olympus. Semua pegasus mengeluarkan Hatalom yang dimilikinya, kekuatan sejati yang hanya dimiliki oleh kaum Pegasus. Sebagaimana kekuatan api Phoenix yang juga tak terbatas.

***

Sementara itu, ratusan mil arah barat Gunung Olympus, Flick terbang dengan santai. Tersampir di punggungnya sebuah tas. Flick sama sekali tak tahu apa yang dihadapi koloninya, apa yang akan menimpa kaumnya. Yang Flick tahu, dia harus menyampaikan benda di tasnya itu pada Zeus, secepat mungkin. Sayangnya Flick belum mengerti, dia malah berpikir ini kesempatannya untuk jalan-jalan, kesempatan langka keluar dari wilayah koloninya. Dan sepanjang jalan ini Flick terus tersenyum, memandang matahari dan pemandangan di bawahnya, tanpa menyadari takdir yang dibawanya. Tanpa menyadari bahwa yang dibawanya itu adalah Petir Zeus, yang menjadi satu-satunya pilihan menyelamatkan bukan hanya koloninya, tapi juga menghentikan seluruh perang yang sedang terjadi saat ini.

Fin...

Jumat, 11 Mei 2012

Berpisah...atau Terpisahkan?


Prinsip. Kita terpisah beberapa inchi karena prinsip. Kata yang terdefinisikan sebagai asas, sebagai dasar, yang menjadi pokok kita berpikir dan bertindak. Menyeberang, tak ada istilah itu untuk prinsip. Dan aku, juga kamu, terjebak di alunan gelombangnya tanpa bisa berhenti.

“Maaf aku tak bisa..”

Bukan itu kata yang ingin kudengar, berbarengan dengan badai tanpa petir atau kebakaran tanpa asap. Semua terasa, meski tanpa sensasi. Sedikit pasase yang hilang, akan mengubah arti secara keseluruhan. Kita tak dapat mengkompromikannya. Dia terlalu kuat, bahkan untuk kita yang berikrar untuk satu.

Lama aku terdiam dalam lamunan, yang keropos secuil demi secuil. Sedikit membius, untuk selanjutnya luruh hancur. Menjadikanmu hanya sebatas pijakan, sebatas pelipur, tanpa benar-benar merengkuh.

Aku sudah lupa wajahmu. Bahkan sepersekian detik aku tak mampu mengingatmu. Dokumen-dokumen tentangmu mengkeriput dalam parahippocampal cortex-ku. Membuatmu sejenak beku dalam perjalanan waktu, yang sekali lagi, kita kalah dengannya. Juga jarak. Serta prinsip.

“Kita yang tak bisa...”

Kataku mengkoreksi. Aku meradang melihat lekuk lelah wajahmu, mengiba dan mengais belas kasih dari masa, dari beda. Aku memerah, tak cukup mampu menopangmu. Menopang keangkuhanku, yang dalam tubuh ini roh sudah melayang, tercerabut mencari bentuk pembenaran yang lain.

Aku pernah merasa kopi dan teh itu pacaran, berpasangan. Disanding satu-satu kiri kanan. Lalu mereka berbagi cangkir, dan terpisah pada komunitas berseberangan. Seperti gitar dan nadaku. Satu riang, yang lain sumbang. Mengajak untuk berbaikan, hanya sebatas formalitas. Karena yang hakiki itu tak pernah ada yang sama, semua ada karena beda.

Melihatmu duduk tak pernah tenang. Sebentar mengaca pada benda tembus pandang itu. Di luar hujan. Kau tak mampu pergi. Kalaupun kau beranjak, aku akan menggenggammu, memaksamu kembali. Dan aku tahu itu salah. Tangan dan kakiku sudah terkoneksi sistematis dengan perasaan, bukan logika. Cara berpikir kaum hawa? Mungkin. Aku hanya ingin menjadikanmu nyaman.

Seperti bunglon dengan adaptasinya.

Tapi semua tak sama.

“Kita harus berpikir ulang..”

Sungguh aku benci kata-kata itu. Seperti tronton menggilas besi tua. Ayolah, tanpa berpikir pun kita sama-sama tahu jawabannya. Itu hanya pembunuh waktu. Berkedok kamuflase. Bahkan yang amatir pun tahu.

Caci maki gusur-menggusur bersama hujan. Satu hilang, berpencar, lalu datang yang lain. Semakin banyak. Semakin menyakitkan. Bagi yang menunggu, atau yang memilih menerobosnya. Konsekuensi. Kita berjalan di atas jembatan konsekuensi yang menghubungkan satu tebing pilihan, dengan tebing pilihan yang lain. Sementara di tengahnya bukan jurang, tapi kematian.

Lalu kita paham. Kita hanyalah sepasang rel bersisian. Di kejauhan tampak melebur, tapi sesungguhnya terpisah. Dari sini, hanya ilmu, teriakan, dan langit yang tahu.


Kita hanya bisa sedikit menutup mata, sedikit merobek ego. Kamu ikut aku, atau aku mengikutimu.

Pilihlah bersamaku. Biarlah kali ini aku mengiba.

Kamis, 10 Mei 2012

41%



Terkadang aku terkesan dengan caramu berbicara. Terkadang dengan caramu berinteraksi. Memapahku dengan tertatih mendekatimu. Menjadi penguntitmu yang bahkan tak berani bertatap muka, apalagi berpapasan denganmu. Seperti bintang yang bersimbiosis dengan bulan, aku berteman dengan bayangan. Dengan diriku yang lain.

Aku malu. Tak berani.

Aku tak serupa dengan Ronin, yang akan bunuh diri jika gagal. Bermain dengan Harakiri. Aku bahkan tak termotivasi untuk merenggutmu. Selalu cukup mendengar celotehmu membanjiri riak dahagaku. Lantas jangan kau anggap aku akan memperjuangkanmu. Yang mengeksekusi semudah menekan tombol Enter, atau malah mencabut kabel power. Aku tak pernah terkoneksi dengan begitu detail, aku hanya menayangkanmu dalam proyektor yang semakin tua di otak bebalku.

Siapa yang tahu kau menunggu?

Aku pun tidak. Bahkan imajinasi fiksi kelas tinggi manusia pun tak mampu mengarang ceritanya. Yang menggebu-gebu ingin terlepas, terbebas dari sayap-sayap cengkeraman. Yang ada hanya aku yang kalut, menunggu cerita ini akan berujung dimana?

Dengan siapa?

Yang selalu terlonjak tatkala dering riang ponsel memanggil, berharap ejaanmu akan memenuhi halamannya. Yang semua hanya sebatas mimpi tak bertuan. Seperti mimpi mengharap kancil akan berteman akrab dengan pak tani. Menyelubungi antara cita-cita dan mimpi, yang definisinya pun bahkan semakin mengabur.

“Mungkin karena kau dianggap bijaksana?”

Nun jauh disana kata-kata itu pernah membungaiku. Memberi sensasi terbang, seperti potongan roket yang melingkar di Saturnus. Mengekangnya, tapi indah dilihat orang lain. Lalu sayangnya, tak ada yang menikmatinya, karena dia jauh, sekali lagi dia tak di depan kita.

Entah butuh berapa hari, bulan atau tahun, saat aku menyadari itu retoris, tak butuh komentar atau pengakuan. Itu hanya propaganda, mencumbui benakku dengan kata-kata “Sungguh?” atau “Ah yang benar?”. Lalu semua hilang. Selenyap engkau dari sini, dari yang tak pernah kumiliki.

Ada yang salah kalau aku berharap?

Kau hanya bersikap seperti burung murai kecil yang hinggap di hijau daun, tapi tak memakannya. Hanya menemani riuh angin dan umpatan kasar petani akibat bebalnya dunia, yang tak juga mau menundukkan wajah padanya. Aku hanya menutupinya dengan senyum palsu, gelak tawa, dan akting misterius. Seharusnya aku mempertanyakan, kenapa kau tak penasaran padaku? Apa aktingku kurang bagus? Mungkin. Aku hanya aktor gagal, sekelas figuran picisan yang sekelebat terlihat lalu tertelan masa. Tak pernah bias menembus dunia.

Tapi kalau kupikir, salah tak bisa kulimpahkan semua padamu. Secara hitungan matematisku, kesalahanmu adalah 10%, mimpi 30%, dunia 20% dan aku 40%. Kesalahanmu hanyalah membiarkanku berharap, yang menjadikanku berival dengan Merapi yang meletup-letupkan lava, yang tak kunjung meledak. Lalu mimpi menjebakku dalam ruang tidur yang sama dengan Putri Salju, menunggu pangeran impian untuk membangunkannya. Dia bahagia selamanya, dan aku membuka mata. Saat itulah yang kulihat hanya kenyataan. Cukup di situ.

 Lalu apa intervensi dunia? Ayolah, mari berpikir sedikit sarkastik. Siapa lagi yang pantas disalahkan selain aku dan kamu. Takdir? Dia hanya pijar tak terlihat. Orang lain? Mereka hanya lilin yang telah padam. Dunia? Bukankah dunia memang kejam. Butuh alasan lagi? Kuharap tidak.

Lalu semua berujung pada satu kesimpulan. Aku yang salah? Salah mengeja tanda. Salah mendefinisikan rasa. Salah membangunkan mimpi.

“never mind I’ll find, someone like you...”

Bisakah aku hidup dengan sebait kata itu. Berarti, besok pagi, saat bangun tidur, aku mulai membohongi hati lagi. Dan catat, itu sama dengan satu kesalahan lagi.

= 41%

Senin, 07 Mei 2012

Pencuri Petir (Percy Jackson and the Olympians, #1)Pencuri Petir by Rick Riordan
My rating: 4 of 5 stars

untuk orang yang ga gitu paham mitologi yunani, saya bisa lancar mengikuti alur cerita dan tokoh-tokoh di buku ini. ceritanya seru. PErcy penuh keberuntungan banget sih ya, tiap kalah selalu aja ada yang nolongin atau ada air, jadi selamet deh. kecuali di endingnya, pas kena racun dari Luke yang berkhianat. hampir matinya ya disitu doank..hoho!

berkisah tentang seorang anak yg bernama Percy Jackson, yang mengalami banyak masalah di sekolahnya, lebih karena disleksia yang dideritanya dan tingkah lakunya yang tak terkontrol. dan ternyata itu bukanlah penyakit biasa, melainkan suatu tanda bahwa dia adalah seorang blasteran alias setengah dewa.

selanjutnya petualangan dimulai, mulai dari diserangnya Percy secara tiba-tiba oleh monster, masuk ke perkemahan blasteran, menerima misi mencari petir asali (milik Zeus) untuk mencegah perang dunia 3 (antara Zeus, Poseidon dan Hades), menerima ramalan, menjalin persahabatan dan pengkhianatan, dan lainnya yg akhirnya berending bahagia.

yah begitulah, buku ini sangat menghibur. untung belum nonton yang movienya, yang katanya kurang bagus dibanding novelnya. pengen baca yang selanjutnya....^^

View all my reviews

Jumat, 04 Mei 2012

Anak Kos Dodol TamatAnak Kos Dodol Tamat by Dewi Rieka
My rating: 3 of 5 stars

yups..berhubung di perpus adanya cuma yg edisi tamat, ya sudahlah baca yg ada aja. untung buku ini sepertinya tidak terkait satu sama lain. apalagi ini buku semacam kumpulan pengalaman pribadi, sehingga tiap subjudul selalu beda-beda.

review apa ya, menghibur pokoknya. bacanya rileks, enak diikuti. ya meskipun di sana-sini ada obrolan yg berbahasa jawa, tapi masih kumengerti (ya iyalah, lha wong aku juga dari jawa timur!!!), tapi mungkin agak menyulitkan untuk yg tak mengerti bahasa jawa.

gitu aja deh, 3 bintang buatmu mbak dedew...!!! ^^

View all my reviews

Rabu, 02 Mei 2012

Perempuan Tanpa Tanda Jasa


Nenek Arma namanya, 57 tahun, sedang memandangi selembar foto kusam. Foto berisi 3 perempuan, dengan ciri senyum yang berbeda. Masing-masing menggambarkan perasaan yang berlainan, tapi saling terpaut dalam lembaran foto itu. Entah sejak kapan foto itu diambil, Nenek Arma tak lagi ingat. Usia telah menggerogoti memorinya sedemikian rupa, menyisakan sedikit celah hanya untuk mengingat namanya sendiri, serta umurnya.
***
“Arma..ayo cepat dikumpulkan, waktu sudah habis!” dari arah depan bu guru berteriak. Sementara anak-anak yang lain telah menyetorkan kembali lembar ujian pada bu guru, lantas berbalik menuju meja masing-masing. Berbagai ekspresi tergambar di sana, beberapa lega, beberapa tersenyum, tapi lebih banyak yang mengeluh. Belum puas dengan kinerjanya sendiri.
“Arma!!” teriak bu guru lagi. Arma hanya mendongak sekilas, tersenyum kecut. Sebentar lagi ya bu, batin Arma. Kembali menulis.
“kalau ada yang belum mengumpulkan sekarang, ujiannya tidak ibu nilai. Selamat siang!” bu guru merapikan mejanya, mulai beranjak meninggalkan ruang kelas.
“Sebentar buuu...!” Arma berteriak sekencang mungkin, tergopoh-gopoh berlari menghampiri bu Guru yang baru sampai di ujung daun pintu. “Hehe..ini Bu!” Arma menyodorkan lembar ujiannya, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bu guru hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah biasa, Arma selalu terakhir menyetorkan lembar ujian. Entah apa yang dilakukannya sebelumnya. Tapi paling tidak, Arma selalu mendapat nilai bagus. Jadi Bu guru masih bisa menolerir sikap Arma.
Bu guru beranjak keluar. “makasih Bu...” ucap Arma, sambil melambaikan tangan. Arma menghembuskan nafas lega, kembali ke mejanya. Diliriknya benda di bawah meja, sebuah novel. Bahkan saat ujianpun disempatkannya membaca, nanggung, sampai kelupaan kalau ada beberapa soal ujian yang belum dikerjakannya. Bel pulang berbunyi, suara langkah-langkah sepatu berhamburan menggema di seluruh koridor sekolah. Arma pun beranjak pulang.
***
Nek Inah melangkah keluar rumah, sambil membawa amplop yang satu jam lalu baru saja diterimanya dari pak pos. Matahari bersinar cukup terik, namun sepertinya kalah terang dengan senyum riang Nek Inah, matanya pun nampak berbinar-binar. Ada sesuatu yang membuatnya gembira hari ini.
Setelah mengunci pagar, Nek Inah berjalan ke arah perempatan, dimana di sana banyak becak yang mangkal. Sebenarnya kalaupun pergi dengan berjalan kakipun tak begitu jauh, tapi tenaga Nek Inah sudah berkurang drastis. Usia telah mengurangi kegesitan dan kekuatan kakinya, belum lagi sakit encok yang menggerogotinya. Menyesal juga sebenarnya dulu saat muda tak banyak melakukan olahraga.
“pergi kemana nih Nek? Ke sekolah seperti biasa?” Sapa pak Kusno, tukang becak langganan Nek Inah. Nek Inah tersenyum, pelan-pelan naik dan duduk di becak Pak Kusno.
“Iya Kus, biasa, mau jemput si Arma. Ayo jalan Kus!”
Pak Kusno mengayuh becaknya pelan. Menyusuri jalan raya yang masih rimbun dengan pohon sebagai pagar hijau. Di kota kecil ini becak masih diperbolehkan, meski sekarang tinggal sedikit. Perlahan-lahan mulai tergantikan dengan angkot.
“Kok agak telat Nek berangkatnya? Biasanya jam segini kan udah dapet separuh jalan.” Pak Kusno memulai obrolan.
“Iya Kus, baru dapat kabar baik ini, jadi tadi kebanyakan bengong.”
“Kabar baik apa Nek? Wah sepertinya sesuatu yang besar nih..”
“Besar apanya? Hehe..kabarnya cuma sebesar amplop ini.” Nek Inah menunjukkan amplop coklat besar yang dipegangnya. Pak Kusno melongo.
“Memang apa isinya Nek?” Pak Kusno ingin tahu.
“Isinya sesuatu yang hebat. Ini rahasia. Ini buat si Arma nanti.” Jawab Nek Inah misterius. Pak Kusno hanya menelan ludah tanda kecewa, sedang Nek Inah tersenyum penuh kemenangan.
“Eh Kus, nanti habis jemput Arma, kita ke warung soto Pak Dimin ya. nanti kamu ikut makan juga, aku bayarin.” Nek Inah melanjutkan. Pak Kusno tersenyum girang.
“Serius Nek? Wah tentu mau banget Nek.” Pak Kusno sudah melupakan kekecewaannya yang tadi. Bayangan nikmatnya soto Pak Dimin di samping terminal sudah menggoda lidahnya, membuat pak Kusno menelan ludah berkali-kali.
“Kalau begitu kayuhnya yang cepat, biar cepat nyampek sekolah Arma.” Nek Inah menyemangati. Pak Kusno pun segera mengayuh becaknya sekuat tenaga, dipikirannya hanya ada gambar Soto Pak Dimin.
***
Dina baru keluar dari toko baju, di tangannya menggenggam 2 tas kertas berisi baju yang baru dibelinya. Wajahnya tersenyum, tapi masih merasa kurang puas. Kurang apa lagi ya, pikir Dina. Disusuri trotoar sambil lirik kiri-kanan. Mencari sesuatu. Akhirnya, tepat sebelum lampu merah sana, terlihat papan nama yang menarik, Toko Kue Shinta. Dina tersenyum, bergegas ke toko itu.
Dari etalase tersaji beragam jenis kue yang sungguh menggugah selera. Itu belum seberapa, harum kue yang baru keluar oven langsung menyeruak memenuhi indera penciuman Dina. Tepat sekali, inilah yang kurang, batin Dina. Dina masuk ke toko disambut senyuman ramah khas penjaga toko.
“Silahkan mbak, mau beli kue apa? Atau mau lihat-lihat dulu?” terhampar di depan Dina potongan kue berbagai ukuran, dihiasi toping beraneka ragam.
“Kalau kue untuk ulang tahun ada nggak ya mbak? Enaknya yang mana ya?” Tanya Dina kebingungan. Semua kue di sana tampak menarik dan enak-enak.
“Oh gimana kalau yang ini mbak?” Penjaga toko menunjuk pada salah satu kue berukuran kecil, dengan lelehan cokelat cair, dihiasi potongan buah cherry merah tua. “Ada juga yang rasa keju kalau mau mbak.” Dina tersenyum.
Tak berapa lama kemudian Dina keluar dari toko kue itu. Ini baru sempurna, teriak Dina dalam hati. Dengan senyum riang, perempuan setengah baya itu berjalan di pinggir jalan raya, sampai tak disadarinya, sesuatu telah membuatnya limbung. Diantara sadar dan tidak, dia hanya melihat sebuah helm melayang melewatinya, lalu semuanya berubah gelap.
***
Arma celinguk kiri-kanan, melihat jam, lalu ganti melirik matahari yang bersinar panas-panasnya. Hari ini seperti biasa, nenek akan menjemputnya. Setiap jumat, memang itu kebiasaan nenek Inah, menjemput Arma lalu mengajaknya jalan-jalan. Dan Arma sangat menyukainya. Jalan bersama Nenek Inah selalu menyenangkan, kadang ke pasar tradisional, main becek-becekan dan beli jajanan pasar bermacam-macam. Kadang diajak ke toko kue teman nenek, dan di sana bisa makan kue gratis banyak pula, dan masih banyak hal seru lainnya. Karena itu, kali ini Arma tak sabar menunggu kedatangan Nenek Inah di tepi gerbang sekolah.
“Arma, masih nunggu Nek Inah?” Tanya Winda, tetangganya sekaligus teman sekelasnya. Winda menghentikan sepedanya di depan Arma.
“Iya, kamu udah mau pulang? Bukannya tadi dipanggil Bu Esti?” Arma balik nanya.
“Udah selesai kok, cuma masalah tugas aja. Ya udah, aku pulang duluan ya ..dagh!”
“Dagh..” Winda melesat pergi. Arma pun melanjutkan celinguk kiri-kanan, berharap Nek Inah segera datang.
Harapannya pun terkabul. Seperti biasa, Nek Inah ditemani dengan Pak Kusno mulai nampak di ujung jalan. Arma tersenyum senang. Lalu dirasakannya hapenya bergetar.
“Halo..Mama?” Arma mengangkat hapenya.
“Ah halo..maaf..maaf..ini ..saya cu..cuma mau ngasih tau, yang punya nomer hp ini kecelakaan, sekarang mau dibawa ke RS Muhammadiyah, kalau bisa langsung ke sini aja..” Suara di seberang tampak panik dan terburu-buru.
Arma mengernyitkan kening, setengah belum percaya,”Maaf ya pak, tolong jangan bercanda. Mana mama saya?” Ucap Arma tegas.
“Sungguh dek ini ga main-main. Saya hanya menghubungi nomer yang paling atas di daftar, saya bahkan nggak tahu yang saya hubungi ini siapa.” Suara di seberang terdengar sangat berisik,” Ini saya masih di lokasi, di perempatan Tendean, kalau nggak percaya kesini saja dek, tapi korban ini mau dibawa ke RS segera, sepertinya parah.” Suara bertambah ramai. “saya juga ikut ke RS dek, nama saya Sinom. Saya tutup dulu ya dek.” Klik. Putus.
Arma terbengong. Tepat bersamaan dengan datangnya Nek Inah dengan Pak Kusno.
“Ayo buruan Arma, nenek ada kejutan siang ini.” Nek Inah tersenyum, membayangkan betapa senangnya hati Arma dengan kejutan yang diberikan. Arma masih terdiam.
“Arma??” Panggil Nek Inah sekali lagi. Arma tersadar.
“Ah Nek...ehm..barusan Arma dapet telpon dari hp mama, tapi bukan mama yang telpon, seorang lelaki. Dia bilang mama kecelakaan. Sekarang dibawa ke RS Muhammadiyah.” Kata Arma datar, masih belum 100% konsentrasi.
Nek Inah tanpa bertanya langsung menarik tangan Arma, naik becak Pak Kusno. “Kus, cari angkot sekarang!”
***
“Coba telpon mama!” Perintah Nek Inah begitu turun dari angkot, tepat di RS Muhammadiyah. Arma langsung melakukannya. Tak lama kemudian Arma memberitahu Nek Inah,”Masih di UGD Nek.”
Mereka pun berlari menyusuri koridor RS, banyak sekali orang yang lalu lalang. Setelah sampai di depan UGD, mereka melihat 2 orang lelaki sedang duduk di kursi tunggu, baju mereka sebagian bernoda merah darah.
“Pak Sinom??” Ucap Nek Inah ragu-ragu. Salah seorang lelaki itu berdiri, tersenyum kecut. “Iya saya.”
Lalu berceritalah Pak Sinom tentang kronologis kejadiannya, saat Dina ditabrak, kemudian pelaku melarikan diri. Beberapa orang di sana tak sanggup mengejar pelaku yang langsung tancap gas. Kebetulan, toko Pak Sinom berada di dekat situ, sekaligus ada mobil yang digunakan untuk mengangkut barang. Akhirnya Pak Sinom dengan karyawannya mengantar Mama Dina ke RS terdekat, RS Muhammadiyah ini.
Yang ada kini hanya air mata. Arma tersedu sedan tak habis-habis. Nek Inah, mengucapkan terima kasih atas bantuan Pak Sinom, yang segera setelah itu pulang karena masih ada urusan. Nek Inah tak menangis, hanya saja matanya berkaca-kaca. Pengalaman hidup telah menjadikannya kuat, menenangkan Arma yang sangat terpukul. Sementara di sebelah Nek Inah, tergeletak sisa-sisa barang Mama Dina yang dibawa Pak Sinom dari lokasi tabrakan.
***
Arma memandangi mamanya yang belum juga siuman, meski tadi kata dokter masa kritis mama sudah lewat. Tinggal menunggu sampai pengaruh obat biusnya menghilang. Wajah mama tampak kusut, lelah. Tapi bagi Arma, wajah itu mendamaikan. Arma teramat menyayangi mamanya. Mamanya bagai seorang pahlawan. Arma tak pernah lupa jasa-jasa mamanya.
Sejak papanya meninggal dalam usia yang terbilang muda, mama beralih menjadi kepala keluarga. Tonggak penghidupan keluarga, mencari pekerjaan apa saja asal bisa terus membiayai Arma. Akhirnya mama mendapat pekerjaan, justru kebetulan di dekat rumah nenek, yaitu Nek Inah. Mereka pindah ke rumah Nek Inah, sedang rumah yang lama dijual. Sejak itu mama bekerja keras tak kenal lelah. Meski begitu, mama tetap begitu perhatian pada Arma, sering menemai Arma main, belajar, curhat, meski saat itu mama sedang lelah karena beban kerja. Arma selalu ingat senyum mama sebelum berangkat kerja, kecupan hangatnya di kening Arma, sambil tak lupa sudah menyiapkan sarapan di meja.
Karena itu, meski papanya sudah tak ada, Arma tak pernah merasa kesepian. Mama telah berhasil merangkap menjadi mama sekaligus papa, bahkan juga teman. Mama yang telah mengajarkannya banyak hal, mama yang selalu kuat, mama yang selalu tersenyum bahagia.
Pelan Arma mencium kening mamanya dengan penuh cinta, penuh kasih sayang, penuh pengabdian. Jika ditanya siapa yang paling berjasa dalam hidupnya, Arma akan tersenyum, dan tanpa ragu mengucap nama mamanya.
***
Mama Dina telah siuman, yang disambut dengan pelukan hangat dari Arma dan lelehan air mata Nek Inah.
***
Nek Inah memberikan amplop yang diterimanya beberapa hari yang lalu, yang rencananya akan menjadi kejutan untuk Arma, sebelum insiden kecelakaan menghancurkan rencananya. Di hadapan Dina dan Nek Inah, Arma membuka amplop itu. Surat pemberian beasiswa. Beasiswa dari sebuah perguruan tinggi negeri. Arma bersorak keras, lupa kalau saat itu mereka sedang berada di rumah sakit. Mama Dina hanya tersenyum bahagia, belum bisa banyak bergerak, sedang Nek Inah sudah tak sanggup membendung air mata bahagia. Mama Dina melebarkan tangannya, Arma langsung menghambur memeluk mamanya dengan demikian erat.
“Udah..udah..akhirnya kamu berhasil dapat beasiswa itu. Mama ikut senang Ar...” Ucap Mama Dina lirih, matanya tampak berkaca-kaca. Arma hanya diam, memeluk lebih erat mamanya sekali lagi.
***
“Bu...selamat ulang tahun ya...” Ucap Mama Dina di hadapan Nek Inah yang sedang giliran jaga. Nek Inah yang duduk di sampingnya memandang lekat putrinya, mengelus lembut tangan Mama Dina.
“Eh iya...Ibu sampai lupa, sudah tambah tua ya..” Ujar Nek Inah tersenyum.
Mama Dina menggenggam erat jemari Nek Inah, yang terasa semakin keriput,”Sebenarnya kemarin aku udah beli kue, tapi ternyata musibah mendahuluiku..” Mama Dina diam sejenak,” semoga Ibu panjang umur ya. Maaf kalau selama ini Dina udah banyak nyusahin Ibu, bikin Ibu repot, maafin Dina ya Bu..” Mama Dina terisak, tak kuasa menahan air matanya. Nek Inah pun sama, air matanya mengalir begitu saja. Nek Inah mengelus kening putrinya, menciumnya penuh kasih sayang.
“Sudah, yang penting kamu cepet sembuh dulu, kasihan tu si Arma...” Nek Inah diam sejenak,” ngomong-ngomong Arma kemana ya? dari tadi ga kelihatan?” Tanya Nek Inah. Bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka. Arma masuk dengan membawa kue ulang tahun, dan menyanyikan lagunya dengan keras.
“Sebagai ganti kue yang dulu hancur dilindas motor Bu...semoga panjang umur ya.” Ujar Mama Dina.
“Selamat ulang tahun nenek!!!” teriak Arma yang langsung memeluk neneknya dengat erat. Acara makan kue pun berlangsung singkat, karena kuenya hanya dimakan Arma, sedang Mama Dina belum boleh makan, dan Nek Arma tak suka manis-manis. Dan diakhiri dengan sesi foto bersama, penuh senyum, penuh cinta, penuh kebahagiaan dari wajah tiga perempuan itu.
***
Nenek Arma menyimpan kembali memorinya yang tergambar di selembar foto itu. Ibu dan neneknya telah lama meninggal. Nenek Arma pun tak ingat kapan pastinya mereka meninggal. Tapi yang tak pernah dilupakannya adalah jasa-jasa mereka, serta senyum kebahagiaan yang selalu mereka berikan, yang sekarang juga ditularkannya pada anak dan juga cucunya.

Selasa, 01 Mei 2012

Empat Musim CintaEmpat Musim Cinta by Adhitya Mulya
My rating: 2 of 5 stars

cukup menghibur, lumayan cepat juga diselesaikan. sesuai judulnya, di sini menggambarkan cinta dalam banyak perspektif dan rasa, yang bisa beda-beda di tangkap manusia. Cinta tak melulu soal senang dan sedih, banyak rasa lain yang terkandung di dalamnya.
Sayang, yg paling membuat saya tak mengerti adalah "scene 40 yang bermasalah itu", cerpen ini kenapa bisa nyasar di buku kumpulan cerpen cinta yak? Bagaimanapun saya mengamatinya, dan dari sisi manapun, saya tak menangkap adanya percikan cinta meskipun hanya sekilas. Entahlah...
tapi berhubung ada beberapa cerpen yang saya suka seperti dimsum dan sekeping hati yang tersisa, maka 2,5 bintang deh ^^

View all my reviews