DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Senin, 13 Juni 2011

Angan-Angan si Pungguk

Engkau sama sekali tak tahu betapa aku mencintaimu. Kau bahkan tak pernah tahu. Karena sekalipun aku telah begitu yakin padamu, bahkan telah mengumpulkan seluruh nyaliku, aku tak pernah mengatakannya padamu. Memang salahku, aku terlalu berharap kau akan melihat sekitar, sedikit menoleh, dan sekejap memandangku. Namun sayangnya, sekalipun kau telah berulangkali melakukan itu, kau tak pernah menyadari adanya aku. Dan ini semuapun masih salahku, karena tak ada tanda sedikitpun yang kusiratkan untukmu.

Ah kalaulah kau ingat bagaimana kenangan ini mengungkungku, menyelimuti hari-hariku. Tapi jujur, aku tak pernah merasa tersiksa. Diammu, tawamu (senyummu lebih tepatnya), gurauanmu, gaya bicaramu, langkah kakimu, postur tubuhmu, banyak lagi yang masih kuingat. Kau sendiri pasti heran bagaimana aku begitu hafal detail dirimu. Jangankan dirimu, aku pun begitu takjub.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kita bertemu. di kelas yang sama, absen kitapun berdekatan, sayangnya tempat duduk kita selalu berjauhan. Kau di depan, dan aku selalu menjadi penghuni barisan belakang. Aku masih tak ingat namamu meski di kelas telah disebutkan, sampai di akhir hari ketika di perpustakaan kita dipertemukan lagi. Kau mencari buku pelajaran-entah-namanya-apa, dan aku hanya numpang lewat baca Koran kolom olahraga. Dan hal itupun terjadi, ya…kita hanya saling melempar senyum. Tapi bukankah itu sebuah permulaan yang bagus.

Aku tahu apa yang ada di pikiran kalian sekarang? Kalian pasti bertanya-tanya seperti apa sosok dia? Ah bagaimana pula aku menjelaskannya. Kalian akan selalu menunduk jika berhadapan dengannya, kalian pasti tak akan kuat berhadapan lama dengannya. Wajahnya? Itu relatif, aku tak punya alat ukur untuk hal itu. Kalau kusebut dia pintar, itu pasti. Dibandingkan dengan aku yang selalu berada di bawahnya dengan selisih dua digit (berdasar peringkat). Dia adalah aktivis, selalu terdaftar namanya di setiap kegiatan dan setiap kepengurusan. Tapi hebatnya, tak pernah ada yang bosan bekerja sama dengannya, berorganisasi dengannya, malah yang ada tambah senang. Kalaulah boleh aku buat kiasan, waktu serasa berhenti ketika dia lewat. Tapi kita tak mampu untuk memandangnya langsung, saking indahnya. Kita hanya bisa menikmati melalui lirikan di ujung mata, yang berbias. Bisakah kau bayangkan?

Kalian telah mengetahui seperti apa dia, sekarang kalian tentu penasaran denganku, sang pemuja rahasianya. Jangan kecewa, aku hanyalah pria dari golongan kebanyakan, bukan seorang pangeran yang dengan segera pantas bersanding dengannya. Kalaulah dia banyak pujian, aku hanya netral saja, tak ada yang memuji ataupun mencela, kata lainnya tak terkenal. Sebelum kalian berpikir aku jelek, sebaiknya aku klarifikasi dulu, wajahku sebenarnya termasuk lumayan, ga jelek-jelek amat, hanya saja kurang menarik. Sekarang kalian paham kan bedanya jelek dan kurang menarik?

Dan seiring waktu kitapun bersama, kebersamaan sebatas di kelas. Kau tak pernah tahu betapa seringnya aku memperhatikanmu dari bangku belakang, tingkah polahmu, obrolanmu, aku tak tahu kenapa aku menikmatinya. Kebaikan hatimu, keramahanmu, kesupelanmu, begitu mudahnya dirimu menarik perhatian seluruh penghuni kampus. Dan tak perlu waktu lama untukmu menjadi idola, incaran setiap cowok. Dan aku yang semakin tersisih oleh seleksi alam ini, hanya semakin memendam nyali dalam gelapnya hati. Aku hanya menanggapimu tak lebih dari sekedar teman biasa, tak lebih dari teman sekelas, karena aku sudah merasa kalah, terkalahkan oleh kehendak alam, aku tak mampu menunjukkan sesuatu yang lebih dariku.

Dan tanpa sadar berlalunya waktu sering terlewat begitu saja, menghanguskan setiap momen yang sebenarnya bisa kita cipta. dan menyisakan penyesalan, atau mungkin juga pengharapan.

Seperti itu pun aku dan dia, berpisah begitu saja tanpa kesan. Berpisah karena memang waktu berkehendak begitu, sejak awal kita tahu waktu kita hanya beberapa tahun, tak lebih dari 5 tahun. Aku pasrah, memandangmu menjauh. Yang membedakan kita hanyalah aku masih mengenangmu, dan kau mungkin telah melupakanku. Ah ya seperti tadi kukatakan, perpisahan juga bisa menimbulkan pengharapan, menumbuhkan benih-benih asa baru. Terpupuk begitu saja.

Tak pernah kuprediksi sebelumnya, jarak ternyata berbanding terbalik dengan intensitas membayangkanmu. Semakin jauh kita terpisah, semakin deras aku memikirkanmu. Oh apalagi ini, bahkan ketika dekatpun aku tak punya kesempatan untuk mendekatimu, terlebih saat jauh begini. Tapi itulah uniknya hati, semakin tidak mungkin sesuatu, semakin kita mengharapkan memperolehnya. Biar…biarlah sejenak rasa ini menusukku, biarlah takdir mempermainkan hatiku, mengombang-ambingkan perasaanku.

Dan inilah aku, beberapa tahun setelah berpisah denganmu, aku membuat keputusan besar. Aku yang begitu pemalu, suka mengalah, tak suka bersaing, aku yang biasa-biasa saja, memutuskan untuk mendekatimu. Memutuskan untuk mengikatmu. Aku selalu tahu keberadaanmu, bahkan sejak kita berpisah dulu. Seperti biasa, aku selalu tahu setiap detail tentangmu.

Kalian sebut saja aku bergerilya, aku mencari segenap kekuatan, mengumpulkan segala informasi dari teman-temanmu, untuk memantapkan hatiku. Tak pernah aku seyakin ini dalam membuat keputusan besar dan penting. Sampai akhirnya tiba dimana titik ini berubah menjadi garis putus-putus.harapan yang membuncah itu perlahan meletus, menjadi buih-buih. Rencana besar itu urung kulaksanakan.

Dan kau tahu sebabnya? Ah bagaimanalah kalau kubilang aku ini memang terlalu pengalah, terlalu minder, terlalu pasrah. Memang salahku kalau dia tak pernah menganggapku, karena tak pernah ada usaha yang kulakukan. Aku hanya selalu bergantung pada takdir..mengecewakan. Bagaimanalah tidak, ketika keputusan besar itu telah final, tak disangka keputusan itu juga paralel dengan teman baikku. Apa pernah kusangka, teman baikku yang sekarang terpisah beberapa kota, tiba-tiba menelponku, mengabarkan ingin segera menikah, akan segera melamar seorang gadis, memintaku membantunya mempersiapkan segala sesuatunya. Tentu saja aku turut bahagia. Lalu di sepatah kata terakhirnya, terucaplah nama dia, gadis yang telah kuniatkan dengan sungguh-sungguh untuk kumiliki. Sepatah kata itu sudah cukup untuk merenggut segala harapan, nyali, kesempatan yang susah payah kukumpulkan. Maka segeralah ucapan selamat itu keluar dari mulutku, sementara bersamaan dengan itu ulu hatiku terasa tercabik-cabik. Kututup telepon dengan nafas tertahan.

Kalian bisa bayangkan bagaimana rasanya putus asa? Terperosok ke jurang terdalam kepesimisan. Terlalu gelap untuk melihat sekitar, terlalu lemah untuk berdiri apalagi mendaki, terlalu senyap untuk membuatmu bangun. Itulah yang kurasakan. Apalagi yang amat kutakutkan, hilangnya kesempatan itu. Kesempatan untuk mengatakannya, kesempatan hanya untuk membuatnya tahu. Tak mungkin aku menghancurkan impian besar temanku, merenggutnya tanpa meninggalkan sisa-sisa untuknya. Itulah mengapa kusebut diriku terlalu pengalah. Tak mungkin pula aku memiliki kesempatan untuk bersaing dengannya, melawan segala kelebihan miliknya, kebaikan hatinya, kedewasaannya, kesupelannya, keramahannya, dia terlalu sempurna untuk kulawan. Itulah mengapa kusebut diriku terlalu minder. Tak mungkin pula aku mengatakan padanya aku ingin memiliki gadis itu, mengajaknya bersaing secara sehat, biar gadis itu yang memilih. Itulah mengapa kusebut diriku terlalu penakut. Tak mungkin pula aku mengkhianati kebaikannya selama ini, membiarkan untuk merengkuh kebahagiaannya, entahlah kusebut seperti apa diriku, karena aku selalu senang melihat orang lain bahagia. Aku tak yakin itu sesuatu yang salah….

EPILOG
Aku duduk di beranda rumah, dengan jaket melilit sempurna tubuhku, sudah terlalu tua aku untuk angin malam seperti ini. Menunggu kedatangan cucu-cucuku. Istriku pelan dari dalam rumah menghampiriku, dengan susah payah membawakan secangkir teh hangat. Duduk tersenyum di sampingku. Aku memegang pelan kakinya, memijitnya, mengulang momen kebersamaan ini bahkan sejak kami muda, senyumnya tak pernah berubah. Kini tak lagi aku duduk di belakang, dia di depan. Kami selalu bersisian.

MISSING PART
Aku telah dilamar, tinggal menghitung waktu untuk hari bersejarahku. Semua telah dipersiapkan dengan baik, sebaik calon suamiku. Harapan telah membuncah, mimpi telah disulam, dirangkai menjadi gugusan terindah. Tapi tetaplah takdir yang berkuasa, menelikung setiap rencana manusia, selalu memberinya pilihan sulit yang tetap harus diambil. Aku kecelakaan. Kakiku cacat seketika. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya, itupun tak akan sempurna. Permanen. Lalu dengan mudahnya segalanya luruh, lebur. Pernikahan batal, calon suamiku tak menginginkan istri yang cacat. Aku tak menolak, karena aku selalu yakin akan ada akhir yang baik bagi orang baik.

Beberapa bulan kemudian, aku menerima message, dari seseorang yang menyatakan akan melamarku. Menanyakan apakah aku telah ada yang melamar, menanyakan kesempatan untuknya. Tentu saja aku mengenalnya, aku hanya tak bertemu dengannya beberapa tahun, lebih sedikit disbanding aku sekelas dengannya dulu. Tentu saja aku mengenalnya, lelaki biasa yang tak pernah berusaha mendekatiku, lebih banyak menunduk ketika berkesempatan berbicara denganku, lebih banyak diam tak menarik perhatian. Tentu dia tak pernah tau, kalau yang dia lakukan selama sekelas dulu malah lebih menarik perhatianku dibanding siswa lain yang lebih agresif. Dia tak pernah tahu bagaimana aku menunggunya dulu, menunggunya untuk membuat kesempatan, sampai di titik akhirnya aku menyerah menunggunya, memilih lelaki lain yang meminta kesempatan itu.

Begitulah takdir, dia datang kembali, menjemputku. Aku tahu, bagaimana ketika untuk pertama kalinya datang kerumahku, untuk langsung melamarku, tak keberatan menerima kekuranganku, dengan tertunduk, dia meyakinkan keluargaku, semua akan baik-baik saja. Dan aku tahu, dengannya, semua pasti akan baik-baik saja.