DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Senin, 27 Desember 2010

Sepiring Kue Keju

“Nggak yah, aku masih waras. Aku udah pertimbangin ini sejak lama. Sampai akhirnya aku yakin!” Nada suara Rion mulai meninggi. Sesekali diliriknya wajah ibunya, lalu kembali menatap wajah ayahnya.

“Apa-apaan kamu! Sejak dulu ayah udah mewanti-wanti kamu, jangan dekat-dekat dengan perempuan itu. Dia tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kita. Paham?” Nada ayahnya tak kalah keras. Kopi dihadapannya tak lagi mengepulkan uap panas, terlalu lama diacuhkan.

“Dia perempuan baik yah. Ayah saja yang belum mengenalnya. Kalau perlu besok aku ajak ke sini, biar ayah dan bunda kenal dia.” Nada suara Rion menurun, tapi tetap tegas.

“Ga perlu. Dengan sekali lihat pun ayah sudah tau perempuan macam apa dia.” Sungut ayahnya, dingin.

“Perempuan macam apa maksud ayah?” Suara Rion meninggi lagi. Tak terima.

“Dia itu cuma manfaatin kamu. Kamu harusnya sadar itu sejak awal. Ayah sudah mengetahui maksud dia deketin kamu.” Jawab ayahnya. Diteguknya sedikit kopi dingin di depannya. Hambar.

Rion tersenyum sinis.”Ayah..ayah…ini zaman udah modern. Jangan kolot gitu lagi donk. Itu cuma ada di pikiran orang-orang zaman dulu. Orang yang menganggap bahwa pernikahan hanya karena maksud tertentu. Zaman ketika cinta tak digubris.” Sindir Rion.

“Jadi maksudmu ayahmu ini orang kuno. Ga maju. Heh jangan sombong kamu. Ayah udah makan asam garam kehidupan lebih banyak dari kamu. Lebih punya pengalaman daripada anak bau kencur kayak kamu.” Ayahnya mulai terpancing emosinya.

Di pojokan, ibunya hanya melihat perdebatan itu dalam diam. Matanya berkaca-kaca. Tak pernah Rion lihat mata seperti itu sebelumnya. Mata yang sendu, tampak lelah.

“Lalu sebenarnya apa yang jelek dari dia yah?? Ok, dia emang yatim piatu. Tapi keturunannya jelas yah, ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan. Harusnya ayah bangga, punya calon mantu yang mandiri. Dia menafkahi dirinya sendiri yah.” Bujuk Rion dengan suara pelan.

“Bah…ayah ga peduli. Kau tahu cerita tetangga heh? dia sering pulang malam-malam. Banyak warga yang liat. Jilbabnya itu Cuma kedok. Tak lebih dari kamuflase. Cih…” kata-kata kasar mulai keluar dari mulut ayahnya.

“Ayah..ayah..tolong donk realistis. Itu kan cuma cerita, tak lebih dari sekadar kabar burung. Udah ditambahin sana-sini. Banyak lelaki kampung sini dan sebelah yang suka sama dia. Semua ditolak yah. Dia korban yah. Korban barisan sakit hati yang ditolak mentah-mentah.” Jelas Rion panjang lebar.

“Rion tahu yah dimana dia kerja. Dia bukan kerja di klab, bukan di warung remang-remang. Bukan pula di kafe-kafe. Dia pintar yah. Mandiri. Dia kerja kantoran, sering lembur. Sama kayak Rion kan…orang-orang di sini banyak yang ga ngerti.” Lanjut rion.

“Ohh..jadi sekarang kamu juga berani ngehina orang kampung kita…hah..sudah hebat benar kamu. Tak sia-sia ayah sekolahin kamu tinggi-tinggi, berhasil menjadi orang sombong gini.” Jawab ayahnya ketus. “kalaupun ceritamu benar, tidak mungkin dia menerimamu dengan mudah, sementara dia menolak puluhan warga kampung, sampai kampung sebelah segala, kalau ga punya tujuan.” Lanjut ayahnya. Kopi dihadapannya hanya tinggal ampas hitam menggumpal.

“Maksud ayah…harta???” Rion memperjelas dengan hati-hati.

“Apa lagi???” jawab ayahnya ringan.

“oh ya Tuhan…Ok gini aja, ayah ga perlu keluarin biaya apapun untuk kami. Aku akan menafkahi dia nanti. Ayah ga perlu mengeluarkan sepeserpun, bahkan recehan sekalipun, dari kantong ayah untuk kami. Aku udah kerja, dia juga. Fair kan?? Dengan begitu dia ga akan mendapatkan harta seperti yang ayah tuduhkan. Asal ayah menyetujui hubungan kami, dan merestui kami menikah. Gimana??” Rion mengajukan penawaran. Otaknya sudah kehabisan akal untuk menyadarkan ayahnya, bahwa ini kenyataan, bukan dunia sinetron.

“apa kamu ga menyadari, justru itu yang dia inginkan. Memecah belah keluarga kita nak…” suara ayahnya memelan. Sedikit terisak.

“maksud ayah???” Tanya Rion semakin tak mengerti.

“Bu…???” Ayahnya menengok, ke arah istrinya di pojokan, meminta bantuan.

Sejenak hening. Kemudian, ibunya yang sedari tadi diam, akhirnya angkat suara. Bibirnya terasa sangat berat untuk membuka. Ruangan itu menjadi mencekam. Hanya suara detak jam yang mengalun teratur.

“sebenarnya, ini terjadi udah lama. Kamu tak pernah tahu, karena kami merahasiakan ini semua dari orang-orang.” Suara ibu bergetar. Bibirnya kelu. “ayah dan ibu Yani, gadis itu, kamilah yang membunuhnya, ayah dan ibu Ri…” setelah berucap, ibu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, terisak-isak. Amat pedih.

Bagi Rion, sejenak terasa waktu di pause, dunia berhenti berputar, kepalanya pusing, terasa linglung. Rion segera memegang tepian kursi. Pelan-pelan menyandarkan tubuhnya yang terasa berat. Pikirannya kalut, mulai tak mengerti arah pembicaraan ini.

“kecelakaan itu, kamilah yang menabraknya. Mobil kami bertabrakan di luar kota. Yang selamat hanya Yani. Kami udah mencoba bertanggung jawab, menawarkan segala bantuan yang kami bisa. Uang, nafkah, biaya, apapun itu, kami siap keluarkan sebagai penebus dosa kami. Tapi….” Ibu berhenti, isaknya semakin deras. Air matanya mengucur deras di pipinya. “tapi, begitu tahu orang tuanya meninggal, dia begitu marah. Dia sama sekali tidak mau menerima apapun dari kami. Dia menghardik kami, mengata-ngatai kami, menyalahkan semuanya pada kami. Lalu, akhirnya dia bilang, dia akan menuntut balas pada kami atas kejadian itu. Setelah itu dia menghilang, lalu beberapa bulan kemudian dia kembali tinggal di rumahnya. Dia tak menceritakan kejadian itu kepada siapapun, warga sini tak pernah tahu, bahwa orang tuanya meninggal karena kecelakaan dengan kami Ri…” lanjut ibu Rion, sambil sesenggukan.

“kalau begitu, lantas kenapa ayah dan ibu sekarang menolaknya?? Seperti…terkesan memusuhinya??” Tanya Rion, beberapa saat kemudian.

Ayahnya memandang Rion, sayu,”Karena kami takut Ri, kamulah sarana Yani untuk balas dendam pada kami, seperti yang dia bilang dulu. Dia ingin menghancurkan keluarga kita, seperti kita menghancurkan keluarganya dulu, itu anggapan dia.” Ayahnya menjelaskan.

Rion memandang wajah ayah dan ibunya bergantian,”Tapi itu kan belum tentu yah. Siapa tahu memang dia telah melupakan semua kejadian itu. Tidak ada lagi dendam. Yani udah dewasa yah. Mungkin waktu udah nyadarin dia, kalau ini takdir.” Tutur Rion.

“nggak Ri, ayah harap kamu bener-bener pertimbangin ini semua. Masih banyak kan gadis di kampung ini. Lagian kamu sarjana, tidak susah kalau hanya memikat gadis di sini.” Tegas ayahnya.

Rion menggeleng,”yah…Rion dah beberapa bulan ini pendekatan dengan Yani. Tak ada tanda apapun yang menunjukkan dendamnya pada keluarga kita. Yani baik banget sama Rion. Perhatian, sayang, Yani cinta yah ma Rion. Rion bisa rasakan itu.” Rion tetap berdiri pada pendiriannya.

Brakkkk!! Ayahnya menggebrak meja, berdiri.”Sekali nggak, tetep nggak!! Apa susahnya sih nurutin keinginan ayah. Ayah sudah menyiapkan jodoh yang lebih layak daripada perempuan malam itu. Ayah sudah merancang semua persiapan pernikahan dengan perempuan pilihan ayah. Titik!!” bentak ayahnya keras.

“apalagi ini…?? Sebenarnya apa sih alasan ayah menentang keputusanku. Kenapa begitu banyak alasan. Rasa-rasanya, semua alasan ayah terlalu dibuat-buat. Apa ini semua cuma sekadar sandiwara.” Rion menutup mukanya, mukanya terasa panas, merah padam. “Rion pikir, perdebatan ini tak ada gunanya. Sandiwaranya cukup sudah. Aku capek dengar semua kebohongan ini.” Rion berkata lirih, sambil berdiri.

Digesernya kursi yang didudukinya, berjalan menuju kamarnya. Dilihatnya ayahnya, wajah ayah tampak memerah dengan urat yang tegang. Kemudan beralih ke ibunya. Wajah tuanya tampak lelah dan tertekan. Tak tahu apakah ibunya sekarang telah pandai bersilat lidah, mengucap kata yang tak jujur. Tak tahu. Yang Rion tahu, dia masih sangat menyayangi orang tuanya. Lalu, ditutupnya pintu kamarnya pelan. Dalam gelap.

Beberapa saat kemudian. “Pak-e…apa benar yang udah kita lakukan???” ibu Rion berjalan mendekati suaminya, setengah berbisik.

“aku tak tahu bu Kalau emang ini nanti udah mentok, kalau semua ini tak mempan untuk menghalangi niat Rion, terpaksa kita harus menceritakan yang sebenarnya, bahwa Yani masih berhubungan darah dengannya. Tak mungkin dia menikahi adiknya sendiri.” Kata suaminya perlahan. Digenggamnya cangkir kopi yang tak berisi lagi.

Paginya Ibu Rion berjalan menuju kamar Rion. Ditangannya memegang sepiring kue keju, kesukaan Rion. Ibunya ingin mendinginkan hati dan kepala Rion setelah pertengkaran hebat semalam. Setengah hati, ibunya mengetuk pintu. Sepi. Tak ada jawaban. Setelah beberapa kali tetap tak ada respon dari dalam kamar, ibunya memutar sendiri pegangan pintu, mendorongnya hingga terbuka. Kamar itu sudah rapi, tapi kosong. Setelah beberapa langkah, ibu Rion melihat secarik kertas bergaris di atas meja. Lalu dibacanya. Sejenak kemudian, piring di tangannya jatuh, pecah berhamburan. Dalam hitungan detik, ibu Rion berteriak,”Pakkkk….!!!!”

Dan segera setelah itu, tubuhnya terjerembap ke lantai, terkulai lemas di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar