Prinsip. Kita terpisah beberapa
inchi karena prinsip. Kata yang terdefinisikan sebagai asas, sebagai dasar,
yang menjadi pokok kita berpikir dan bertindak. Menyeberang, tak ada istilah
itu untuk prinsip. Dan aku, juga kamu, terjebak di alunan gelombangnya tanpa
bisa berhenti.
“Maaf aku tak bisa..”
Bukan itu kata yang ingin
kudengar, berbarengan dengan badai tanpa petir atau kebakaran tanpa asap. Semua
terasa, meski tanpa sensasi. Sedikit pasase
yang hilang, akan mengubah arti secara keseluruhan. Kita tak dapat mengkompromikannya.
Dia terlalu kuat, bahkan untuk kita yang berikrar untuk satu.
Lama aku terdiam dalam lamunan,
yang keropos secuil demi secuil. Sedikit membius, untuk selanjutnya luruh
hancur. Menjadikanmu hanya sebatas pijakan, sebatas pelipur, tanpa benar-benar
merengkuh.
Aku sudah lupa wajahmu. Bahkan
sepersekian detik aku tak mampu mengingatmu. Dokumen-dokumen tentangmu
mengkeriput dalam parahippocampal cortex-ku.
Membuatmu sejenak beku dalam perjalanan waktu, yang sekali lagi, kita kalah
dengannya. Juga jarak. Serta prinsip.
“Kita yang tak bisa...”
Kataku mengkoreksi. Aku meradang
melihat lekuk lelah wajahmu, mengiba dan mengais belas kasih dari masa, dari
beda. Aku memerah, tak cukup mampu menopangmu. Menopang keangkuhanku, yang
dalam tubuh ini roh sudah melayang, tercerabut mencari bentuk pembenaran yang
lain.
Aku pernah merasa kopi dan teh
itu pacaran, berpasangan. Disanding satu-satu kiri kanan. Lalu mereka berbagi
cangkir, dan terpisah pada komunitas berseberangan. Seperti gitar dan nadaku. Satu
riang, yang lain sumbang. Mengajak untuk berbaikan, hanya sebatas formalitas. Karena
yang hakiki itu tak pernah ada yang sama, semua ada karena beda.
Melihatmu duduk tak pernah
tenang. Sebentar mengaca pada benda tembus pandang itu. Di luar hujan. Kau tak
mampu pergi. Kalaupun kau beranjak, aku akan menggenggammu, memaksamu kembali. Dan
aku tahu itu salah. Tangan dan kakiku sudah terkoneksi sistematis dengan
perasaan, bukan logika. Cara berpikir kaum hawa? Mungkin. Aku hanya ingin
menjadikanmu nyaman.
Seperti bunglon dengan
adaptasinya.
Tapi semua tak sama.
“Kita harus berpikir ulang..”
Sungguh aku benci kata-kata itu. Seperti
tronton menggilas besi tua. Ayolah, tanpa berpikir pun kita sama-sama tahu
jawabannya. Itu hanya pembunuh waktu. Berkedok kamuflase. Bahkan yang amatir
pun tahu.
Caci maki gusur-menggusur bersama
hujan. Satu hilang, berpencar, lalu datang yang lain. Semakin banyak. Semakin menyakitkan.
Bagi yang menunggu, atau yang memilih menerobosnya. Konsekuensi. Kita berjalan
di atas jembatan konsekuensi yang menghubungkan satu tebing pilihan, dengan
tebing pilihan yang lain. Sementara di tengahnya bukan jurang, tapi kematian.
Lalu kita paham. Kita hanyalah
sepasang rel bersisian. Di kejauhan tampak melebur, tapi sesungguhnya terpisah.
Dari sini, hanya ilmu, teriakan, dan langit yang tahu.
Kita hanya bisa sedikit menutup
mata, sedikit merobek ego. Kamu ikut aku, atau aku mengikutimu.
Pilihlah bersamaku. Biarlah kali
ini aku mengiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar