DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Jumat, 11 Mei 2012

Berpisah...atau Terpisahkan?


Prinsip. Kita terpisah beberapa inchi karena prinsip. Kata yang terdefinisikan sebagai asas, sebagai dasar, yang menjadi pokok kita berpikir dan bertindak. Menyeberang, tak ada istilah itu untuk prinsip. Dan aku, juga kamu, terjebak di alunan gelombangnya tanpa bisa berhenti.

“Maaf aku tak bisa..”

Bukan itu kata yang ingin kudengar, berbarengan dengan badai tanpa petir atau kebakaran tanpa asap. Semua terasa, meski tanpa sensasi. Sedikit pasase yang hilang, akan mengubah arti secara keseluruhan. Kita tak dapat mengkompromikannya. Dia terlalu kuat, bahkan untuk kita yang berikrar untuk satu.

Lama aku terdiam dalam lamunan, yang keropos secuil demi secuil. Sedikit membius, untuk selanjutnya luruh hancur. Menjadikanmu hanya sebatas pijakan, sebatas pelipur, tanpa benar-benar merengkuh.

Aku sudah lupa wajahmu. Bahkan sepersekian detik aku tak mampu mengingatmu. Dokumen-dokumen tentangmu mengkeriput dalam parahippocampal cortex-ku. Membuatmu sejenak beku dalam perjalanan waktu, yang sekali lagi, kita kalah dengannya. Juga jarak. Serta prinsip.

“Kita yang tak bisa...”

Kataku mengkoreksi. Aku meradang melihat lekuk lelah wajahmu, mengiba dan mengais belas kasih dari masa, dari beda. Aku memerah, tak cukup mampu menopangmu. Menopang keangkuhanku, yang dalam tubuh ini roh sudah melayang, tercerabut mencari bentuk pembenaran yang lain.

Aku pernah merasa kopi dan teh itu pacaran, berpasangan. Disanding satu-satu kiri kanan. Lalu mereka berbagi cangkir, dan terpisah pada komunitas berseberangan. Seperti gitar dan nadaku. Satu riang, yang lain sumbang. Mengajak untuk berbaikan, hanya sebatas formalitas. Karena yang hakiki itu tak pernah ada yang sama, semua ada karena beda.

Melihatmu duduk tak pernah tenang. Sebentar mengaca pada benda tembus pandang itu. Di luar hujan. Kau tak mampu pergi. Kalaupun kau beranjak, aku akan menggenggammu, memaksamu kembali. Dan aku tahu itu salah. Tangan dan kakiku sudah terkoneksi sistematis dengan perasaan, bukan logika. Cara berpikir kaum hawa? Mungkin. Aku hanya ingin menjadikanmu nyaman.

Seperti bunglon dengan adaptasinya.

Tapi semua tak sama.

“Kita harus berpikir ulang..”

Sungguh aku benci kata-kata itu. Seperti tronton menggilas besi tua. Ayolah, tanpa berpikir pun kita sama-sama tahu jawabannya. Itu hanya pembunuh waktu. Berkedok kamuflase. Bahkan yang amatir pun tahu.

Caci maki gusur-menggusur bersama hujan. Satu hilang, berpencar, lalu datang yang lain. Semakin banyak. Semakin menyakitkan. Bagi yang menunggu, atau yang memilih menerobosnya. Konsekuensi. Kita berjalan di atas jembatan konsekuensi yang menghubungkan satu tebing pilihan, dengan tebing pilihan yang lain. Sementara di tengahnya bukan jurang, tapi kematian.

Lalu kita paham. Kita hanyalah sepasang rel bersisian. Di kejauhan tampak melebur, tapi sesungguhnya terpisah. Dari sini, hanya ilmu, teriakan, dan langit yang tahu.


Kita hanya bisa sedikit menutup mata, sedikit merobek ego. Kamu ikut aku, atau aku mengikutimu.

Pilihlah bersamaku. Biarlah kali ini aku mengiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar