DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Senin, 13 Februari 2012

(Sirosa) Senja


Senja kali ini masih sama. Masih serupa dengan sembilan belas hari kemarin, dua bulan yang lalu, delapan tahun sebelumnya. Masih dengan riuh senjanya yang sepi. Membawa butir-butir warna jingga, mengecap ke relung hati. Masih ditemani dengan kicauan burung yang serupa. Memanggil-manggil senada melodi jiwa yang mengalun lirih. Mengucapkan beribu rindu yang tak menjadi lisan, menertawakan kebodohannya.

Kalau aku ingat, masih di tempat ini, di senja ini, aku duduk menunggumu. Ditemani sembilu janji yang melarikan diri, patah-patah menepati.
“kau tahu kenapa aku suka di sini?” tanyamu tepat bersamaan dengan senyummu yang merekah. Membiarkan otakku memotret sunggingan itu. Membawanya dalam hening malam menuju peraduan, mengulangnya sekali lagi melalui alur mimpi. Membiaskan rona pipi berbalut senja jingga, memantulkan berjuta asa yang tak pernah mampu keluar, walau hanya sekejap menjejak bumi. Lalu di saat bersamaan, buih-buih rumput teki terbang senada dengan helaan angin dan riak air. Mengalir membasahi ujung-ujung rambutmu yang menebar wangi melati. Ah bukan, mungkin mawar. Mungkin seroja. Mungkin bunga cinta.

Engkau berdiri memandang ujung dunia. Memunggungiku, yang semakin lama kurasa semakin menjauh. Merasakan kibasan halus rambutmu, memantulkan cahaya jingga tepat di wajahku. “kau sempurna sekali.” Batinku, selepas melihatmu dari sudut manapun. Menikmati setiap detailmu, bahkan sebelum kau menyadari adanya aku.
“aku akan pergi.” Ucapmu ringan. Seringan kapas yang gugur bersama gravitasi, ditemani hembusan udara yang bergelombang. Engkau memandangku dengan tatapan memelas, seolah memaksa aku untuk tak merelakanmu. Memandangku tepat di ujung pupil yang berhiaskan pelangi, yang meninggalkan noda-noda mendung, yang mungkin sebentar lagi mengembun. Aku menyentuh lekat ujung kukumu dengan kukuku, membiarkan ujung jemarimu dengan jemariku. Kulitmu begitu hangat, sedang diriku terasa membeku. Aku menegakkan kepala, menatap datar padamu, dan merasa hujan telah turun. Menodai rona pipimu, mengalir sesuai alurnya. Aku masih menyentuh ujung jemarimu, dan kau kini meminjam punggungku, membuatku terpejam tak berdaya.

Hari-hari selanjutnya, masih di senja yang sama, potongan mozaik-mozaik kertas bertaburan di pelukku. Menebarkan berjuta aksara yang tak pernah habis. Menyampaikan ceritamu hanya sebatas wacana, meniadakan suara dan gemulai raga. Kupandangi ujung dunia, mencoba merasakan apakah sama punyamu dan punyaku. Kita tak pernah saling berbagi, selalu menganggap kita telah mengerti satu sama lain. Menyempitkan persepsi dunia hanya sebatas logikaku dan perasaanmu.
“Kau masih menungguku?” suara itu begitu lirih, terucap melintasi samudera dan gugusan pulau. Aku masih menunggumu, teriakku begitu keras. Sekeras deburan ombak menghantam karang, terbang bersama burung-burung manyar melintas benua. Mengenang dengan jelas, saat dimana kelingking kita menari, saling mengikat dan menyimpul, menihtakan janji laksana palapa. Dimana itu terakhir kalinya jemari kita saling menyentuh, ujung kuku kita saling beradu.

Senja ini masih sama, dengan aroma melatinya, ah bukan, aroma mawarnya, ah salah, aroma seroja, ah mungkin aroma cinta. Masih dengan guratan jingga, memantul sempurna ke retina. Masih dengan ujung dunia yang sama, tak terlihat. Yang berbeda, kini aku di sini tak sendiri, tak lagi ditemani rumput teki, helaan angin, atau riak air. Aku kini bersama dengan bidadari-bidadari bersuara mungil, yang sedang berlarian, berkejaran, tertawa. Membawa ingatanku bertualang bersama. Lalu tangan lembut itu menyentuh ujung punggungku, membelaiku dengan nada yang memabukkan, memberi nyaman, melelapkanku. “kau baik-baik saja kan?” ujung jemarinya menguatkanku, ujung kukunya meneguhkanku, serupa dengan dirimu dulu.

Dia lalu memanggil bidadari-bidadari, menjadikan malaikat-malaikat kecil mengelilingiku, berdiri di sampingku. Lalu jemari kami saling bertautan, saat bersamaan dengan embun tipis menembus ujung bulu mataku. Jatuh bersama jingganya senja, diiringi aroma seroja, menunduk lemah, menatap pusaramu. Janji itu tak pernah lekang, tapi sayangnya, hidup terus berjalan. Relakan dia menggantikanmu, biarkan janji kita ikut terkubur bersama ragamu.

Jumat, 10 Februari 2012

Cukup dengan Bayangmu


Aku baru mengenal lelaki separuh baya itu seminggu, dan ajaibnya, aku langsung menyukainya. Dia tetanggaku, persis sebelah rumahku. Aku baru membeli rumah dan menempatinya seminggu ini. belum banyak yang kukenal di lingkungan baru ini, salah satunya tetanggaku ini.
Pak Dedi namanya. Umurnya sekitar 40-an lebih. Badannya kekar, tapi berwajah lembut menyejukkan. Murah senyum lagi. Kami bertemu pada suatu sore, setelah beres-beres pindah rumah, Pak Dedi sedang menyiram bunga di halaman depan.
“Sore pak, wah tanamannya subur sekali pak” ujarku basa-basi
“wah iya nih lumayan..” Pak Dedi mengangkat wajahnya, tersenyum.
“sayang belum berbunga pak. Oh ya, kenalkan pak, saya tetangga baru bapak, baru aja pindahan ini. Anton pak nama saya.” Kuulurkan tangan menjabat pak Dedi.
“ohya...saya Dedi. Sama siapa nih tinggal di rumah baru? Sudah berkeluarga?” tanya pak Dedi.
Aku hanya tersenyum,”Ah pak, belum dapet jodohnya, masih single aja pak. Kalo bapak?”
“saya sama istri, sudah 20 tahun tapi belum diberi momongan.” Wajahnya menyiratkan mendung sekilas. “kebetulan istri saya sedang ke pasar sore nih, biasa ibu-ibu, suka lama kalo di pasar” pak Dedi terkekeh, menutupi mendung yang tadi terlihat di wajahnya.
Sore itu kami mengobrol untuk mengenal lebih dekat, karena sebagai tetangga tentunya kami akan saling merepotkan nantinya, saling membantu satu sama lain, sehingga keakraban itu sangat diperlukan.

###

Sepulang kantor, aku menyempatkan membeli martabak dua bungkus, satunya nanti ingin kuberikan pada pak Dedi. Maklum, selama seminggu aku bekerja, dari pagi sampek pulang malam, pak Dedi sukarela membersihkan halaman rumahku.
Aku tak tahu pak Dedi sebenarnya bekerja apa, beliau mengaku bekerja sebagai karyawan swasta, di salah satu kantor tak jauh dari perumahan kami. Tapi karena aku berangkat lebih pagi dan pulang larut malam, aku tak pernah menjumpai pak Dedi berangkat ataupun pulang kerja. Kami hanya mengobrol saat akhir pekan tiba, di halaman rumah, sore hari saat menyiram tanaman hias.
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam, sudah cukup larut, tapi lampu di rumah pak Dedi masih menyala terang. Sejenak aku ragu, pak Dedi sudah tidur atau belum, mengingat usia pak Dedi yang tak lagi muda, seharusnya jam segini sudah istirahat. Tapi percuma donk aku beli martabak dua kalau akhirnya harus kumakan sendiri, akhirnya kuketok pintu rumah pak Dedi.
“eh nak Anton, ada apa nih malam-malam, ada yang bisa dibantu?”
“ah maaf pak mengganggu, nggak kok pak, ini kebetulan tadi beli martabak berlebih, daripada ga ada yang makan”
“wah ngrepotin aja nih, makasih ya. ayo duduk dulu, besok libur kerja kan?” pak Dedi mempersilahkanku duduk di kursi kayu antik di terasnya. “kebetulan bapak lagi ngopi, enak kalo diselingi martabak.” Setelah itu pak Dedi masuk ke dalam rumah.
Aku duduk menikmati udara malam, bunga-bunga sudah mulai menguncup, belum terasa wanginya.
“nah ini kopinya, ini martabaknya, ayo kita begadang.” Pak Dedi muncul dari dalam rumah, tersenyum lebar. “istri saya sudah tidur, jadi ga ketahuan kalo kita begadang bareng..hahaha!”tawa pak Dedi begitu keras, aku cemas bagaimana kalau sampai istrinya terbangun, nanti aku yang disangka membawa pengaruh buruk untuk pak Dedi. Dan begitulah, kami ngobrol semalaman.

###

Sudah sebulan lebih aku di sini. Dan baru-baru ini muncul pertanyaan di benakku, aku sama sekali belum pernah bertemu dengan istri pak Dedi sekalipun. Setiap aku ngobrol dengan pak Dedi, pak Dedi selalu mengatakan istrinya sedang kemanalah, sedang ngapainlah. Dan aku jarang sekali melihat pak Dedi keluar rumah, tetangga lainnya pun hanya sebatas menyapa ketika bertemu pak Dedi, tak pernah lebih. Dan pertanyaan itu seringkali menemaniku terlelap tidur.
Pagi ini aku bersiap-siap ke masjid untuk sholat subuh. Sehabis sholat, yang cuma berjamaah 5 orang, aku berjalan pulang, berlainan jalan dengan jamaah yang lain. Lalu aku melihat sesosok tubuh keluar dari rumah pak Dedi, berjalan pelan menyusuri jalan, belok ke gang kecil dan berhenti di pemakaman umum. Sosok itu berdiri di depan sebuah pusara, diam membatu. Entah kenapa tadi aku tanpa sadar membuntutinya, sosok itu tak lain adalah pak Dedi.

###

Pak Dedi tidak gila, hanya terlalu terobsesi. Tak bisa meninggalkan kenangan. Baginya, kenangan itu adalah kenyataan, dan realitas adalah sebuah mimpi. Pak Dedi terjebak dalam pikirannya sendiri. Istri pak Dedi meninggal 10 tahun yang lalu. Meskipun tak dikarunai momongan, pak Dedi teramat mencintai istrinya. Setiap detail yang dilakukan istrinya begitu hafal di benak pak Dedi. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, urut-urutannya, begitu lekat di pikiran pak Dedi. Dan begitu istrinya meninggal karena suatu penyakit, pak Dedi begitu terpukul. Seminggu setelah pemakaman, pak Dedi mulai berubah. Bertingkah seolah-olah istrinya masih hidup. Tak ada yang berubah, selain bayangan istrinya yang masih lekat di pelupuk mata pak Dedi.