DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Rabu, 26 Januari 2011

Aku Tak Mengenalnya...

Gadis itu sudah beberapa hari ini nebeng di motorku. Dan tentu saja, aku tak bisa menolaknya. Tak ada alasan yang bisa kubuat untuk itu. Jadi aku diam. Biarlah dia tetap duduk di belakangku, berkeliling kota Jakarta ini, toh aku juga tak ada agenda. Maka beberapa hari ini kami berkeliling bersama, menikmati macet dan panasnya sengatan matahari.
Aku tak mengenalnya, beberapa hari yang lalu. Di tepi jalan dekat kantor, waktu aku membeli minuman di asongan. Panas Jakarta membuatku muak. Lalu dia di sana, seperti sedang menunggu. Aku tak yakin, kupikir begitu. Dia melihatku, tepat saat mataku menatapnya. Lalu tersenyum, berjalan mendekatiku.
“Boleh ikut??”
Lalu begitulah, sampai akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu di jalan bersamanya.
“Kamu tahu namanya?” temanku bertanya, membetulkan letak kacamatanya.
“nggak.”
“kok bisa?” kali ini dia melepas kacamatanya. Menatapku serius.
Kami memang bersama setiap siang. Tapi hanya itu, kami hanya berkeliling bersama dengan motor. Mengelilingi Monas, Thamrin, Lapangan Banteng. Hanya saja kami tak pernah mengobrol. Bahkan saat berhenti istirahat. Kami hanya saling memandang, tapi tak pernah ada suara yang keluar. Dia hanya selalu tersenyum padaku. Akupun merasa kikuk dan gugup untuk bertanya namanya. Entahlah, apa dia juga tak tahu namaku. Tapi beberapa waktu itu, sudah cukup untuk membolak-balikkan hatiku. Kalaupun rasa ini muncul, wajar bukan?
“apa kau tak bilang padanya?” temanku memakai lagi kacamatanya. Entahlah, kenapa dia suka sekali bermain dengan kacamata itu.
“bagaimana mungkin? Aku baru mengenalnya beberapa hari. Aku tak mau dia menjauhiku.”
“lalu kau pikir, dengan diam saja itu lebih baik?”
“paling tidak, aku masih bisa menghabiskan waktu dengannya.”
“apa dia terlihat juga menyukaimu?”
Aku selalu menatap dia akhir-akhir ini. Ingin mengungkapkan pertanyaan itu. Sampai ketika, aku nekat membulatkan tekad, menatapnya saat kami istirahat di tepi jalan, berniat mengatakannya. Tapi dia mendahuluiku.
“kau tahu pria berkacamata yang lewat sini setiap sore.”
“yang mana?” aku mengurungkan sebentar niatku.
“yang memakai motor gedhe itu, motor warna ijo. Kamu sepertinya sering ngobrol dengannya.”
“oh iya..aku kenal.”
“bisa aku titip sesuatu untuknya?”
“apa?”
Dia menyerahkan sebuah amplop surat. Warna cerah, sangat kasual.
“aku sudah lama menyukainya, cuma aku bingung mengatakannya. Makanya aku tiap hari berdiri di tepi jalan, melihatnya, berharap dia menegurku.”
Aku tak melihat lagi gadis itu minggu ini. Dia tak ada di tepi jalan kantor lagi. Entah pindah kemana. Mungkin sekarang sudah mulai pulang bareng temanku yang berkacamata itu. Yang suka memainkan kacamatanya. Mungkin nebeng dia. Mungkin pula dia bosan menunggu. Yang jelas, surat itu tak pernah sampai ke temanku. Entah sekarang berada dimana, waktu kubuang dulu di aliran Kali Ciliwung.

sketsa itu...

Pameran lukisan di balai kota. Dari luar, suasana terlihat lengang, tapi jangan bayangkan keadaan di dalam. Kau akan melihat masyarakat strata atas memenuhi balai kota itu. Berjas dan bergaun. Kau akan melihat lapisan terhormat penduduk bumi ini. Dan disitulah dia, gadis itu, beranjak pelan-pelan memasuki pintu yang dijaga sekuriti berwajah ramah. Langkahnya teramat pelan, seperti mengendap-endap. Keringat sedikit mengucur, menambah pias wajahnya. Tas ransel tersampir di punggungnya yang ringkih. Demi melihatnya, seketika wajah ramah sekuriti beralih menjadi wajah beringas. Menakutkan. Sejenak gadis itu terlihat mengurungkan niatnya untuk masuk, tapi akhirnya dia melangkah maju. Menunjukkan sehelai tiket masuk, yang dipandang sekuriti dengan muka heran. Bagaimana bisa?

#

Anak lelaki itu bermandikan peluh, berteduh sebentar di tumpukan karton yang membias matahari. Bibirnya kering. Kepanasan. Sebentar kemudian, dia merogoh karung di sampingnya, hasilnya hari ini. Tak menyadari, bahwa disampingnya telah duduk seorang gadis cilik, sekitar 2 tahun di bawahnya. Gadis itu tak bergeming, hanya melihat apa yang dilakukan anak lelaki itu. Anak lelaki itu tersenyum, senang, memegang sebuah buku tulis. Lusuh, tapi masih ada beberapa lembar yang kosong.
“apa itu?” Tanya gadis cilik, sedikit mengejutkan. Kepalanya sedikit miring, ingin tahu buku apa itu.
“ini buku tulis.” Jawab anak lelaki itu singkat, tak menoleh.
“buat apa? Kamu kan nggak sekolah. Nggak perlu buku tulis.”
“ya…lagian aku nggak suka nulis. Aku mau nggambar. Buku yang kutemukan minggu lalu dah habis.”
Gadis itu diam. Ya memang, anak lelaki itu amat pandai menggambar. Gadis itu juga paling suka dilukis. Bahkan beberapa gambarnya ditempel di dinding tripleks kamarnya, sekaligus kamar seluruh keluarganya.
“kamu mau aku lukis lagi ga?” Tanya anak lelaki itu memecah keheningan.
“mau..mau…” bersorak.
“mukanya aja ya, kalau seluruh badan ntar ketahuan bajunya ga pernah diganti..hehehe!”
“hahaha…”

#

Gadis muda itu tak pernah menduga akan kedatangan tamu. Tamu spesial. Gadis itu tampak tertegun, kehilangan kesadaran sesaat, menelan ludah. Di depannya berdiri sosok yang begitu dikenalnya luar dalam, selalu mengisi harinya. Tapi itu dulu, bertahun-tahun lalu. Sebelum sosok itu menghilang, tak pamit. Sekarang lihatlah, sosok lelaki muda itu berdiri di hadapannya. Tampak jauh berbeda dengan bayangannya. Baju rapi, terlihat mahal. Badannya juga bersih, tak kumuh lagi. Tapi lihatlah, wajahnya sepi, sunyi. Sama sekali tak bercahaya. Redup. Pias. Lelah. Susah menggambarkan ekspresinya. Tak tampak gairah hidup tercermin darinya. Tapi lelaki itu masih mengupayakan seulas senyum. Miris melihatnya.
“hai…”,ucap lelaki itu.
Gadis itu hanya diam. Membeku.
“kau tak menyuruhku masuk?”,ucapnya lagi.
Di luar rinai gerimis sedang menari. Tampak sepatu lelaki tersebut sedikit berlumpur, akibat melewati setapak jalan becek tadi. Gadis itu menyingkir ke samping, isyarat menyuruh masuk, tetap diam. Lelaki itu masuk ke dalam rumah, ah gubuk sebenarnya, menghirup udara pelan, tersenyum.
“rumahmu indah sekali…”,ucapnya lagi.
Tiba-tiba saja lelaki itu merasa tubuhnya tak bisa bergerak. Gadis itu memeluknya dari belakang, kencang. Pelan sekali, lelaki itu mendengar isak tertahan, seiring dengan bekas hangat membasahi punggungnya.
“kamu kemana saja?”ucap gadis itu, setelah beberapa lama, melepaskan pelukannya. Mereka duduk di kursi kayu lapuk. Lelaki itu tersenyum lemah.
“maaf ya aku baru sempat menengok. “
“ga papa…”
Hening.

#

Gadis itu berjalan sedikit kikuk menyusuri lorong-lorong yang dipenuhi orang. Matanya terkagum-kagum memandang sekeliling. Di tiap dinding, terpasang pigura-pigura indah berisi lukisan tak ternilai. Bertema. Berirama. Menimbulkan dunia tersendiri. Semua terpasang sempurna, berjarak proporsional. Di depan setiap lukisan itu berdiri manusia-manusia yang masih mengagumi karya sang maestro. Tapi gadis itu tetap melangkah lurus, sama sekali tak berhenti untuk sejenak menikmati satu lukisanpun.
“dimana ya?? Dimana ya???” hatinya selalu bertanya-tanya sejak tadi. Bergemuruh sendirian. Mukanya tetap menengok kiri-kanan. Mencari sesuatu, tujuannya.
Akhirnya dia lelah, bingung sekaligus. Dilihatnya seorang petugas jaga sedang berjalan berkeliling. Sedikit takut-takut, dia menghampirinya.
“eh..eeee..maaf..pak…kalo itu, eee lukisannya Ardhinsy…eee..dimana ya..ee..tempatnya???”tanyanya gugup, takut.
Petugas jaga itu meneliti wajah sang gadis, menyelidik, lalu tersenyum.
“mau lihat lukisan Ardhinsy ya? Lurus saja, belok ke kanan, nanti ada ruang tersendiri. Itu lukisan utama pameran kali ini.”jawabnya ramah, sambil menunjuk arah.
“eee..teri..ma…kasih..ee..pak” ucap gadis itu, buru-buru melangkah.
Gadis itu berjalan cepat ke arah yang ditunjukkan petugas jaga tadi. Bergegas. Tinggal sedikit lagi. Gadis itu sama sekali tak memperhatikan sekeliling, hampir menabrak seorang ibu-ibu pengunjung. Lima meter lagi. Semakin terlihat banyak kerumunan. Semakin padat. Akhirnya, sampailah dia di ruangan itu. Tak luas, hanya sebentuk kotak persegi. Memang sih, lebih besar daripada gubuknya.
Di ruangan itu masih banyak orang. Gadis itu menatap sekeliling ruangan, terfokus pada dinding-dindingnya, dan pelan-pelan, tubuhnya mulai membeku.

#

“wah bagus-bagus ya, mirip banget. Nggak nyangka aku cantik kalo dilukis…hehehe!” ujar gadis cilik itu, memamerkan gigi putihnya. Dengan tekun dibukanya satu per satu halaman buku tulis lusuh yang dipegangnya. Di sebelahnya, tersenyumlah anak lelaki itu.
“nanti aku mau jadi pelukis.” Ucap anak lelaki itu, menerawang ke langit. Cerah.”ntar aku mau bikin lukisan yang banyak, terus dijual, ntar kamu kukasih bagian.” Yakin.
“hehehe…ntar bisa kaya donk?!”
“iya, bisa punya banyak uang hasil jual lukisanku. Bisa jadi pelukis terkenal.”
“wah bisa beli rumah ya?”
“tentu saja. Aku akan beli rumah sendiri, pindah dari tempat kumuh ini.”
Mendengar itu gadis cilik itu terdiam. Anak lelaki itu menoleh.
“kenapa diam?”
“kamu mau pergi ya ntar?” seketika anak lelaki itu paham maksudnya.
“iya, aku akan pergi. Kamu juga akan kuajak tentunya, aku ga akan ninggalin kamu.”
“benarkah??”
“iya, tentu aja. Kita berdua bakal keluar dari tempat ini kalau aku punya uang hasil lukisanku nanti.”
“janji ya…”
“janji…”
Matahari mulai tenggelam, menyisakan aroma sore yang khas, aroma sampah di tempat pembuangan itu.

 #

Lelaki itu masih duduk di kursi lapuknya. Di depannya telah tersaji secangkir kopi pahit, tak ada gula di rumah itu. Tadi kopi itu dibuat saat hening mendera mereka berdua. Saat ini, gadis itu sudah kembali duduk di kursinya, di sebelah lelaki itu. Diam-diam menyusuri gurat wajah sang lelaki, memandang dengan penuh kerinduan, sosok yang memenuhi masa kecilnya. Meneliti lekuk per lekuk, menyelidiki senti demi senti, lelaki itu tampak letih, lebih tua dari usia sebenarnya. Tampak lelah. Sejenak gadis itu merasa iba, benar-benar ingin memeluknya lagi.
Tapi tak begitu halnya dengan lelaki itu. Di rumah atau gubuk ini, dia merasa damai. Sudah lama lelaki itu tak merasakan aroma tanah yang diguyur hujan seperti ini. Kayu-kayuan, bambu tua, sangat merindukannya. Suasana ini membuatnya tenang dan nyaman. Dia diam, karena menikmati semua ini, karena mungkin sebentar lagi lelaki itu tak mampu merasakannya lagi.
“sudah berapa lama tinggal disini??” Tanya lelaki itu, memecah sepi.
“cukup lama, setahun lebih…”
“nyewa…??”
“iya…gubuk ini tak terpakai. Pemiliknya berbaik hati ngizinin aku tinggal di sini, tentunya dengan sewa yang murah. Padahal gitu aja aku sering nunggak bayarnya, tapi bapaknya ga pernah marah…hehehe!”
“ohhh…”
Hening lagi. Mencekam.
“maaf…” ucap lelaki itu setelah diam beberapa saat.
Gadis itu menghela nafas pelan, menghembuskannya perlahan.
“untuk???”
“semuanya. Untuk janjiku dulu, untuk harapanmu, untuk kehidupanmu di sini…semuanya…maafkan aku.” Suara lelaki itu bergetar.
“nggak…nggak kok, nggak ada yang perlu dimaafin. Aku senang lihat kamu hari ini. Melihat gurat wajahmu, senyummu, semuanya…bagiku, kamu selalu sama seperti sejak kecil dulu. Melihatmu sekarang, sudah cukup untuk mengobati penasaranku…atas kepergianmu dulu…aku tak butuh penjelasan apapun..”
Semua terdiam. Hati lelaki itu panas, bergejolak. Tak terasa genangan air hangat telah mengembun di sudut matanya. Tak ingin dilihat si gadis, lelaki itu berdiri, melangkah ke tepian pintu, memandang gerimis yang semakin deras di luar gubuk reyot itu.
“oh ya, aku punya sesuatu untukmu…sebentar…” lelaki itu melangkah keluar, dan kembali dengan sebuah gulungan kertas besar. Menatap gadis itu lamat-lamat, lalu mendekatinya.
“untukmu…”ucap lelaki itu.
“apa ini??”
“lukisan. Sudah lama aku menyimpannya, sudah lama pula aku ingin menyerahkannya padamu. Baru sempat sekarang.”
“menurutmu, apa dinding di sini akan jadi lebih indah kalau kutempel lukisan ini?”
“paling tidak, kau akan senang waktu melihatnya.”
“makasih.”
“semoga lukisan itu berguna nantinya.”
Dan gerimis di luar perlahan berubah menjadi hujan deras.

#

Tercengang. Tidak, bukan hanya itu. Benar-benar membeku. Lihatlah di sana, di dinding itu. Berderet lebih dari sepuluh lukisan dari Ardhinsy. Lukisannya memang teramat bagus, tapi bukan itu yang menyebabkan gadis itu terpaku. Lihatlah sekali lagi. Lukisan itu….
Di sana, terlihat dengan sangat jelas siapa obyek lukisan itu. Lukisan realis itu teramat mirip dengan aslinya. Tak perlu berpikir lama untuk mengenalinya, obyek itu dilihatnya setiap hari. Di cermin. Gadis itu sendiri tergambar di sana. Lukisan itu berantai. Mulai dari pojokan, menggambarkan gadis cilik sedang mengais sampah, mirip dengan dirinya dulu, sampai gadis itu beranjak remaja, sampai akhirnya menjadi gadis belia. Semuanya benar-benar menyerupainya. Tapi bukan itu saja yang membuatnya terkejut, dari mana semua lukisan itu berasal.
Pelukisnya, lelaki itu sangat dikenalnya. Lelaki temannya sejak kecil itu. Gadis itu tahu, karena dari lelaki itulah info pameran serta tiket masuk ke balai kota ini. Tapi lebih dari itu, keterkejutannya belum berhenti. Masih ada hal lain yang ganjil.

#

Sore itu, gadis cilik itu duduk bersandar di tumpukan kardus yang selama ini menjadi tempatnya berteduh. Menunggu. Yang ditunggu tak kunjung datang. Temannya ngobrol, dan bersandarnya selama ini. Sudah dianggap kakak, teman, ayah, dan lainnya. Hanya lelaki cilik itu yang mau peduli padanya di tempat kumuh ini, selain tentunya para sampah dan lalat hijau.
Matahari beranjak condong, tapi batang hidung lelaki itu belum juga muncul. Gadis cilik itu mulai resah. Tak disadarinya, seorang ibu setengah baya mendekatinya.
“lagi apa di sini??”
“menunggu.”
“bocah lelaki itu?”
“he-eh.”
“dia sudah pergi. Tadi ada yang menjemputnya, mengajaknya pergi. Tasnya juga dibawa. Mungkin tak akan balik ke sini lagi.”
Gadis itu diam. Tak memperhatikan lagi apa yang diucapkan ibu itu. Tak sadar pula ketika ibu itu sudah pergi menjauh. Hatinya kebas. Panca inderanya luntur. Mukanya pias. Dan tubuhnya membeku. Dia pergi. Kenapa? Bukankah dia telah berjanji mengajakku? Kenapa tak pamit?
Begitu banyak pertanyaan menggaung di kalbunya. Bahkan kulit pipinya terasa mati sampai-sampai tak menyadari buliran hangat mengalir dari matanya. Tak terisak. Tak tersedan. Tetap diam. Tapi dia menangis. Begitu perih. Seorang terpenting di dunianya tercabut dari hari-harinya. Kesepian.

#

“bukalah nanti.” Ucap lelaki itu sembari berjalan menuju pintu.
“mau kemana?”
“aku nggak bisa lama.” Menoleh ke arah gadis itu, tersenyum,”aku ada urusan.”
“di luar masih hujan. Apa nggak bisa ditunda dulu?”
“maaf..”
Baru selangkah berjalan, lelaki itu berbalik. Memeluk erat gadis itu. Gadis itu tampak terkejut, adegan tiba-tiba itu tak terbersit di bayangannya. Tapi dia diam saja. Menikmati pelukan hangat lelaki itu, yang sangat lama dirindukannya. Beberapa lama kemudian, lelaki itu melonggarkan pelukannya, membuat jarak dengan gadis itu.
“aku lupa sesuatu..” ucap lelaki itu. Tangannya merogoh saku celananya.”ini tiket pameran lukisan di balai kota akhir minggu ini. Datanglah. Sebagian lukisanku ada di sana.”
“kamu juga ada di sana?”
“datang saja…” lelaki itu tersenyum.
“apa kamu akan ke sini lagi?”
“aku pergi dulu. Baik-baik ya…”
Lalu lelaki itu berjalan keluar rumah, menerobos deraian rintik hujan di luar. Gadis itu menatap punggungnya yang mulai menjauh, ditangannya masih menggenggam erat sepotong kertas kecil itu.

#

Bagi pengunjung yang lain, terlihat tak ada yang aneh dengan lukisan itu. Lukisan aliran realis yang memiliki “nyawa”. Bahkan, lukisan itu langsung menjadi rebutan para kolektor. Lukisan itu berurutan dari awal, menceritakan sesuatu di dalamnya. Kehilangan satu lukisan saja, maknanya akan hilang. Harganya langsung melambung tinggi hari itu juga. Semua memburunya.
Tapi tidak bagi gadis itu. Lihatlah wajah piasnya. Masih menyembunyikan bekas keterkejutannya. Coba tanyakan kenapa? Apa yang aneh?
Lihatlah lukisan itu. Di sana terpampang wajahnya mulai dari kecil sampai sekarang. Tidakkah kau ingat, lelaki itu meninggalkannya sewaktu dia masih seorang gadis cilik. Masih gadis ingusan. Bagaimana ceritanya coba, lelaki itu bisa menggambar gurat wajahnya ketika gadis itu remaja sampai dewasa. Bahkan seorang pelukis hebatpun tak akan mampu melukis gurat kedewasaan yang bertambah seiring usia. Bagaiman ceritanya coba, lukisan itu semakin mirip dirinya, semakin terasa melihat dirinya di cermin. Bagaimana bisa?
Itu misteri, tapi cukup untuk membuat gadis itu meneteskan air mata. Melihat pertumbuhannya sendiri, yang tergambar jelas di lukisan itu, menatap sketsa wajahnya, meratapi dirinya di lukisan itu.
“ini adalah karya terbesar Ardhinsy, sengaja tidak dikeluarkan sampai konsep cerita yang dikandungnya lengkap. Lukisan Ardhinsy kali ini berantai, mempunyai nyawa yang saling tersambung, tak bisa terlepas. Tiap segmen menyajikan latar berbeda, tapi saling berhubungan. Cita rasa seni yang amat tinggi. Artinya, kehilangan satu lukisan saja, akan meniadakan makna sebenarnya yang tersimpan di dalamnya. Maka dari itu, ke-13 lukisan ini akan kami lelang untuk satu pemenang saja, tak akan dijual terpisah. Itulah peraturannya….”
Suara pembuka sang pemandu memecah kekaguman yang tercipta di ruang kecil itu. Menyadarkan sebentar logika gadis itu. Buliran air matanya belum juga mau berhenti. Beberapa kata dari pemandu lukisan ada yang masuk ke telinganya, tapi lebih banyak yang tersapu angin, tak bersisa.
“harganya mencapai ratusan juta….”
“saya punya semua koleksinya…”
“saya naikan harga jadi 1 milyar…”
“siapa yang mau menaikkan lagi tawarannya…”
“lukisan ini memang sangat menakjubkan…”
Kata-kata itu berputar di kepalanya, tak dikenalnya, terlalu asing.
“saya akan sampaikan sebuah rahasia kecil tuan dan nyonya. Ke-13 lukisan ini bisa dianggap sudah selesai, maknanya sempurna di dalamnya. Gambar berantainya sudah habis. Tapi tidak menurut Ardhinsy. Ada satu lukisan lagi yang menjadi ending alternatif dari rangkaian lukisan ini. Sebuah lukisan yang akan menguak segala cerita di sini. Sebuah lukisan yang menjelaskan semuanya, apa yang ingin disampaikan Ardhinsy. Sayangnya, Ardhinsy tak mengatakan dimana lukisan itu berada, apakah sudah selesai, apakah lukisan itu juga akan dijual, tak ada yang tahu.
Dan baiklah, ke-13 lukisan ini akhirnya dimenangkan oleh Tuan Handi seharga 3 milyar. Selamat untuk Tuan Handi.”
Tepuk tangan bergemuruh, menyadarkan gadis itu dari isaknya. Kata-kata terakhir sang pemandu menerangkan segalanya.

#

Begitu lelaki itu pergi, entah kemana, gadis itu masih termenung di depan pintu. Hujan masih deras mengguyur. Sebentar kemudian, gadis itu duduk. Teringat gulungan yang diberikan lelaki itu. Membukanya perlahan. Disanalah, berbarengan dengan petir menyala di luar, gadis itu bagai melihat cermin. Gambar sederhana. Gambar sebuah cermin rias, yang di dalam cermin itu memantul sketsa wajah, wajah dirinya sendiri. Wajah gadis itu. Sangat memesona.
Gadis itu begitu menikmati gambar dirinya sendiri. Bertanya dalam hati, kapan lelaki itu melukisnya, bertemu saja baru hari ini setelah berpisah bertahun-tahun. Tapi pertanyaan itu berhenti, tatkala dia meneliti tiap detail lukisan itu, di sanalah, di pantulan cermin, di pojokan, tampak segurat wajah lelaki yang sedang duduk, menatap gadis itu dari belakang, sketsa wajah yang dikenalnya, yang baru saja meninggalkan pintu rumahnya, wajah lelaki itu. Tersembunyi dengan amat sempurna, kalau saja kau tak meneliti detailnya, niscaya kau akan menganggap gambar itu tak ada.
Di pojokan bawah lukisan itu tertulis catatan kecil. ‘bawalah lukisan ini di pameran nanti. Semoga berguna.’ Hanya seperti itu. Gadis itu tertegun, tak mengerti maksudnya. Tapi kelak, dia akan mengerti semuanya.

#

Seketika gadis itu teringat gulungan yang dibawanya, yang dimasukkan dalam tas ransel besarnya. Mengeluarkannya, membuka. Seketika itu juga dia menyeruak di antara pengunjung, langsung menghadap sang pemandu. Setengah gugup, setengah tergesa-gesa.
“ma…maaf..pak…eh..ini..eee…apa ini…ee..lukisan yang dimaksud???” tanyanya gugup.
Pemandu itu memandangnya dengan wajah bertanya-tanya. Siapa pula gadis sederhana ini, kalau tak bisa dibilang kumuh.
“maaf, maksudnya??” Tanya pemandu.
“eee…ini..lukisan terakhir itu???”
Pemandu itu menatap gulungan kertas itu. Memegangnya, sejenak menatap para pengunjung yang menyaksikan penasaran, lalu perlahan membukanya. Lukisan itu muncul. Pemandu itu terdiam. Tuan Handi juga. Seluruh pengunjung di sana diam seribu bahasa. Tak ada suara. Bahkan hela nafas saja harus permisi untuk bisa terdengar.
“ini..i..ini…dari mana kau dapat ini???” Tanya pemandu terbata-bata.
“eee…dia langsung..mem..memberikannya padaku.”
“maksudmu….Ardhinsy???”
“i…iy..ya..”
Bergemuruhlah seketika ruangan itu. Satu puzzle tiba-tiba muncul, satu teka-teki akhirnya hadir, satu misteri terkuak. Karya superior dari sang maestro lengkap sudah. Cerita itu mencapai endingnya.
“aku tawar 5 milyar, bagaimana???” suara Tuan Handi menggema diantara keriuhan itu. Semua mata tertuju ke Tuan Handi.
“kalau lukisan ini asli, saya beli 5 milyar, sekarang juga. Saya sudah membeli ke-13 koleksinya, mana mungkin saya akan membiarkan orang lain memiliki ending dari lukisan ini.”
5 milyar. Jantung gadis itu berdetak lebih cepat, darahnya membeku, bibirnya mengatup. Membayangkan uang sebanyak itu pun dia tak pernah. Padahal niatnya tadi hanya ingin memberitahu, bahwa mungkin gulungan lukisan itu adalah yang dicari-cari semua orang di sini. Tapi lihatlah, dengan spontan semuanya berubah. 5 milyar!!!!
Begitu Tuan Handi menyerahkan selembar cek 5 milyar, mereka berjabat tangan. Sah lah jual beli tersebut. Gadis itu keluar ruangan bukan lagi gadis miskin nan kumuh, tapi gadis dengan uang 5 milyar di tangan. Begitu mau keluar balai kota, sang pemandu tadi mencegatnya.
“bagaimana kau bisa mendapat lukisan itu???”
“ehhh maaf???”
“bagaimana??? Aku saja tak diberitahunya.” Ucapnya dengan wajah serius.
“anda siapa???”
“aku sekretarisnya, sahabatnya, orang paling dekat dengannya selama ini. Dia tak pernah mengatakan dimana lukisan itu. Bagaimana bisa ada padamu??? Siapa kamu???”
“aku..eee…aku Cuma teman kecilnya, teman di masa lalunya…tak lebih. Dia datang ke tempatku, menyerahkan lukisan itu, menyuruhku datang ke sini hari ini. Hanya itu.”
“dia memang tak pernah bisa diduga…”
“anda tahu dimana dia sekarang??”
“dia sudah pergi. Kemarin dia pergi tanpa pamit. Mungkin juga sudah meninggal.”
“maksudnya???” wajah gadis itu pias.
“sejak dulu dia sakit, tiap hari semakin mengurus. Tubuhnya kering. Mungkin tinggal menunggu waktunya…” suara pemandu itu bergetar.
Tercekat. Gadis itu lemas seketika, terduduk di tangga balai kota. Langit sore itu sedang mendung. Burung-burung pun masih bertengger di dahan, malas terbang keluar.
“kau mirip sekali dengan yang di lukisan itu?”
“ya, itu memang aku…”

#

Rumah gadis itu sedikit lebih bagus, meski tetap sederhana dan seadanya. Tanah di sekitarnya sudah menjadi miliknya. Dibangunnya beberapa rumah sederhana pula untuk orang yang senasib dengannya. Gratis. Sekarang dia tidak sendiri, banyak tetangga, banyak anak-anak yang bermain di halamannya. Dia tak pernah kesepian lagi. Uang 5 milyar itu lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Dia ingin membaginya dengan orang lain. Meneruskan pesan tersembunyi dari lelaki itu. Lelaki yang tak pernah mengingkari janjinya.

#

Gadis cilik itu kembali memunguti sampah setelah semingguan cemberut. Marah sana-marah sini. Akhirnya dia bisa melepaskan anak lelaki yang pergi meninggalkannya. Kembali beraktivitas seperti biasa. Tak pernah disadarinya, sepasang mata senantiasa mengikutinya, sampai dia beranjak dewasa. Mata itu tersembunyi di dalam kabut.

#

“kau paling senang melukis apa???’
“apa ya….???ehmm…sebenarnya aku paling suka melukis kamu.”
“kenapa??”
“eee…karena lukisanku terlihat bercahaya, lebih hidup aja kalau melukis kamu.”
“kamu bakal nglukis aku terus kan??? Sampai gedhe nanti??”
“iyaa…”
“berarti kamu ga akan ninggalin aku kan??”
“iya…”
“aku pengen bareng kamu terus…”
“iya…aku juga…”

 TAMAT

PS:cerpen terpanjang yang kubuat, capek ternyata. Menguras energiku, di sela-sela istirahat kantor, di sela-sela bekerja, akhirnya bisa selesai juga. Terima kasih telah membacanya, berarti kalian menikmati peluh keringatku. Btw, asin ga rasa keringatku??? ^_^

Senin, 24 Januari 2011

surat cintaku padamu...

Kepada
Yang tak kukenal, yang asing dalam koneksiku…

Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh…
 
Teriring bersama ini sejuta doa keberkahan atas umurmu di dunia, serta keselamatan di akherat kelak…

Kamu pasti heran dan aneh menerima surat ini. Ketika kamu lihat amplopnya, kamu pasti berpikir ini kerjaan orang iseng. Ketika kamu baca pembukanya, kamu pasti berprasangka pengirimnya seorang yang alim, religius. Bolehkah aku tahu tebakanmu selanjutnya, setelah membaca rangkaian kata berikutnya?
Kamu benar, aku orang iseng. Yang berani mempermainkannya sedemikian rupa, yang akhirnya hanya mampu berwujud coretan di lembaran kertas ini. Kamu tak pernah mengenalku, sebagaimana juga aku. Mungkin kamu juga tak pernah melihatku, tapi aku 100% sering melihatmu akhir-akhir ini. Aku hanya tertegun ketika kamu lewat, hanya terbelalak saat kamu berjalan, dan tahukah kamu, itu berkesan buatku, meski tak meninggalkan setitik bekas di dirimu.
Tebakanmu yang kedua, ah aku tak berani menjawabnya. Kalau kamu memaksa bertanya, dengan terpaksa menjawab aku ini bodoh, masih belajar. Ah belum-belum kamu membuatku malu, harus mengakui kekuranganku. Bahkan dengan melihatmu saja aku langsung yakin ilmumu jauh di atasku. Tahukah kamu, aku begadang semalaman hanya untuk memberanikan diri menulis ini. Hanya memberanikan diri, belum menulisnya. Untuk menulisnya, kamu tak perlu tahu butuh waktu berapa lama..
Aku terlalu banyak basa-basi ya? Kamu pasti bosan membaca celotehku ini, maaf. Ah ya, sebenarnya aku hanya ingin tahu namamu. Boleh kan? Atau aku harus bergaya playboy dulu, seperti, kamu punya obeng? Nggak…kalau nama punya kan? Ah klasik dan gombal sekali bukan? Makanya aku putuskan tak memakai trik itu. Tapi tolong, jangan anggap remeh ya, aku serius.
Apa kamu mulai penasaran denganku?kamu pasti mulai membayangkan, seperti apa si pengirim surat iseng ini. Kalau boleh dijabarkan, aku cukup tampan. Cukup untuk menarik minat para gadis. Yang jadi pertanyaan, apakah gadis sepertimu juga akan tertarik ketika melihatku? Apa kamu juga mengukur hanya dari tampang? Ketahuilah, aku tak terlalu bangga dengan wajahku, karena Alloh tak pernah menjadikannya ukuran. Dalam diamku, aku juga berdoa, semoga kamupun begitu.
Sebegitu sepelekah ternyata urusanku denganmu? Hanya ingin tahu namamu saja. Sebenarnya aku ingin bertanya apakah kamu sudah ‘terikat’. Tapi nanti saja lah. Aku takut kamu malah akan menghindariku. Dan memang, urusanku hanya itu, hal sepele itu, tapi sangat berarti buatku. Sekarang giliranmu, ingin bertanya apa padaku? Ah jangan-jangan kamu masih takut padaku. Mengira aku seorang phsyco, atau buaya darat (percayalah, aku tak termasuk salah satunya).

Semoga kamu penasaran, dan menyelipkan seuntai doa, agar kita bisa dipertemukan, entah sengaja atau bantuan takdir. Bukankah doa 2 orang lebih baik, daripada sendirian (jangan biarkan aku berdoa sendirian ya). 

Wasalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh

Dari
Yang iseng, yang ingin tahu namamu…

Nb: kalau kamu ternyata pernah melihatku, janganlah kamu kecewa padaku…

Kamis, 06 Januari 2011

Secuil Kisah di Tepian...

Aku belum siap

Aku melihatnya, dan itu untuk pertama kali. Bagai takdir, semua terjadi tak sengaja. Mirip sinetron bukan? Hanya saja, bukan latar romantis yang melatari. Justru polusi. Keramaian. Macet. Tentu saja kau tahu, jalan Jakarta. Hanya sederhana, berlokasi di pinggir jalan. Dimana berserakan para penjual asongan, gelaran tikar, dan para karyawan. Siang memang selalu panas di sini. Wajah lelah, ngantuk, dan kelaparan susah dibedakan. Ekspresinya sama. Menurutku.

Kau bisa baca ekspresiku? Aku masuk golongan lapar. Setengah hari bekerja, pantaslah untuk diupahi sesuap nasi. Lalu aku menyusuri trotoar itu, bersama ratusan orang lain yang bertujuan sama, mencari makan. Aku lupa, tujuanku sebenarnya bukan cuma mencari makan, tapi juga pergi ke bank untuk suatu keperluan. Lalu aku berjalan ke arah bank, yang juga melewati penjual nasi. Lalu disitulah dimulai drama ini.

Aku melihatnya.

Kau tahu maksudku? Hanya melihat, sekilas. Tapi itu lebih dari cukup untuk membacanya. Membaca semua gerakannya, sekelilingnya, dan senyumnya. Oh senyum..hahaha! ya dia tersenyum, tentu saja bukan untukku. Tak ada alasan pula dia tersenyum padaku. Dia tak mengenalku, seperti aku tak mengenalnya. Kusadari, dia bersama temannya, di gelaran tikar penjual nasi, tujuanku. Sepertinya seluruh kekuatanku sudah kukerahkan untuk membaca dia, sehingga aku tak sadar apa yang kulakukan sendiri. Sepanjang yang kuingat, aku melihatnya, senyumnya, lalu aku sudah ada di halaman bank. Bayangkan??? Prioritasku berubah. Kenapa halaman bank??

#                       #                       #

Aku ingin bertemu lagi.

Aku tahu tadi dia juga memandangku. Bukan, bukan GR, aku tahu karena aku melihatnya, meski sejenak, dia melihatku. Kuharap dia menyimpannya dalam sketsa, melukisnya di ingatan, seperti halnya aku. Jadi tak akan kaget kalau bertemu lagi. Aku tahu itu sekilas, tapi sudah cukup ketika mata kami bertemu sepersekian detik, akselerasi maksimum. Engkau pun pasti tahu, setelah tubuhku di bank, tapi khayalku entah. Ah gelap. Aku sadar aku melewatkannya.

Ketika aku sudah siap.

Garis bawahi, ketika…engkau tak tahu pasti makna kata ketika ini, aku juga. Segala kemungkinan bisa terwujud, tak terencana. Bisa saja, ketika aku siap, aku tak lagi bertemu dengannya. Atau aku bertemu lagi, malah ketika belum siap. Bisa juga, aku telah siap, tapi dia sudah tak ada kesempatan. Mungkin juga ketika aku siap, takdir berkata lain. Itu menghantui, tapi tak menakutkan. Aku pasrah.
Tapi aku yakin, ketika aku siap nanti, ketika aku bertemu dengannya nanti, aku tak akan melewatinya begitu saja, aku tak akan menundukkan wajahku lagi, sehingga yang kulihat bukan baris trotoar, tapi dia yang sesungguhnya. Aku akan mengatakannya.

Itu pun, ketika aku sudah siap nanti, dan itu pun, masih bisa berubah.

Ah aku pun tak yakin pada diriku.