DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Selasa, 06 Desember 2011

Bintang BuntingBintang Bunting by Valiant Budi
My rating: 3 of 5 stars

aslinya sih pengen ngasih 3,5.

buku ini dibeli di obralan, cuma iseng saja awalnya. tapi ternyata ga menyesal, karena kualitas buku ini bukan kualitas obralan, berasa beruntung banget dapetnya.

ceritanya seru, misterius, sebangsa thriller kali ya...

tapi yang jelas ga ngebosenin,

nilai plusnya karena saya beli di obralan tapi kualitasnya harus berada di rak buku...

View all my reviews

Senin, 05 Desember 2011

AiAi by Winna Efendi
My rating: 3 of 5 stars

pertama suka karena ada unsur jepangnya. pas baca, menyukai gaya bercerita yang menggunakan 2 sudut pandang. jadi emosi yang terjadi lebih bisa tergambar, apa yang dialami tiap-tiap tokoh.

kecewa karena sebelumnya pernah baca Refrain, buku Winna yang lain. tema yang diangkat sama, cinta yang terlilit ikatan persahabatan. jadi berasa kurang fresh aja.

dan, meskipun ternyata unsur jepangnya kurang begitu detail, saya tetep suka buku ini.

View all my reviews
Herr Der Diebe - Pangeran PencuriHerr Der Diebe - Pangeran Pencuri by Cornelia Funke
My rating: 3 of 5 stars

cukup seru bacanya. termasuk golongan bacaan petualangan yang ringan dicerna, dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. tapi itu juga menjadi titik lemah, karena cerita petualangan atau fantasi yang kurang 'wah', terkesan sederhana dan biasa saja.

penceritaan yang keren, melalui detail liku-liku kota venezia, apalagi terdapat peta di bagian belakangnya, yang sayangnya baru saya sadari setelah selesai membaca dan membuka lembar terakhir.

tapi bagaimanapun, saya suka buku ini...^^

View all my reviews

Selasa, 08 November 2011

Pillow TalkPillow Talk by Christian Simamora
My rating: 1 of 5 stars

buku bukan untuk anak kecil (bukan pula untuk orang dewasa yang masih berpikiran seperti anak kecil seperti saya). terus terang saya kurang suka, ceritanya terkesan dipanjang-panjangin, bertele-tele. lebih dari itu teramat banyak adegan berbicara dalam hati terkait pikiran kotor antara cewek dan cowok.

yah..mungkin memang saya yang masih seperti anak kecil sehingga kurang sreg dengan novel cinta dewasa seperti ini, sehingga saya tidak bisa menikmatinya.(berharap dalam hati kecil semoga tidak merasa menyesal membeli...#nangis)

View all my reviews
Totto-chan: The Little Girl at the WindowTotto-chan: The Little Girl at the Window by Tetsuko Kuroyanagi
My rating: 4 of 5 stars

seperti halnya saga no gabai bachan, buku ini juga menceritakan masa kecil, dengan gaya penulisan yang sederhana sehingga mudah dipahami bahkan oleh anak-anak sekalipun, dengan tetap memperhatikan pelajaran moral di dalamnya. dan tentu saja, saya tetap sangat menyukai buku ini.

View all my reviews
5 cm5 cm by Donny Dhirgantoro
My rating: 2 of 5 stars

tertarik karena katanya best seller. judul unik, mengundang penasaran. baca awal-awal masih enak, tapi semakin lama kok makin banyak lirik lagu dan bahasa filsafah yang jujur kurang saya mengerti (ini murni pribadi saya loh..). yang paling suka endingnya, sangat seneng ketika liat ending sama sekali berbeda dengan ekspektasi saya di awal. dan kejutan seperti ini yang saya sukai dr sebuah buku.

View all my reviews
99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais
My rating: 3 of 5 stars

traveller book yang dikemas laiknya novel. cukup banyak menambah wawasan tentang Islam, tentunya dengan akhlaknya yang baik.

View all my reviews
Perahu KertasPerahu Kertas by Dee
My rating: 3 of 5 stars

novel remaja yang sebenarnya pasaran. penokohan yang menjadi mindset orang kebanyakan. (keenan pelukis, jadi penampilannya artistik, dengan kuncir rambut, seniman banget...mindset kita pasti seperti itu lihat seniman). alur cerita bagus, tapi ya gitu aja. sama kayak novel remaja kebanyakan. tapi ga papa kok, kan memang ditujukan ke pasar remaja.

View all my reviews
Ayat-ayat CintaAyat-ayat Cinta by Habiburrahman El Shirazy
My rating: 2 of 5 stars

konsep ceritanya sih bagus (konsepnya lho ya..), tapi cerita sesungguhnya kurang menarik kalo kita mikir realistis. tokohnya sempurna banget, idaman cewek banget. ilmunya luar biasa. ceritanya berpusat pada tokoh lelaki sempurna, dan tokoh lain yang mengorbit di sekitarnya mengalami transformasi menjadi baik dalam waktu yang begitu cepat....entahlah.

tapi kalau disebut pembangun jiwa, bolehlah...mungkin inti konsep awalnya adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak, memengaruhi orang lain dengan kebaikannya...mungkin, yang dibalut dengan cerita cinta untuk menyasar segmen remaja.

View all my reviews
Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)Saga no Gabai Bachan by Yoshichi Shimada
My rating: 4 of 5 stars

buku yang termasuk favoritku. ceritanya sederhana banget, penulisan dan gaya penceritaannya juga sangat sederhana. bahkan mungkin seorang anak kecil juga dapat dengan mudah memahami buku ini. dan yang paling penting, banyak pelajaran kehidupan yang bisa kita petik, terutama pembelajaran tentang masa kanak-kanak. bagaimanapun, masa kecil yang menentukan bagaimana kita sekarang, dan juga dunia kita di masa depan.

View all my reviews

Senin, 13 Juni 2011

Angan-Angan si Pungguk

Engkau sama sekali tak tahu betapa aku mencintaimu. Kau bahkan tak pernah tahu. Karena sekalipun aku telah begitu yakin padamu, bahkan telah mengumpulkan seluruh nyaliku, aku tak pernah mengatakannya padamu. Memang salahku, aku terlalu berharap kau akan melihat sekitar, sedikit menoleh, dan sekejap memandangku. Namun sayangnya, sekalipun kau telah berulangkali melakukan itu, kau tak pernah menyadari adanya aku. Dan ini semuapun masih salahku, karena tak ada tanda sedikitpun yang kusiratkan untukmu.

Ah kalaulah kau ingat bagaimana kenangan ini mengungkungku, menyelimuti hari-hariku. Tapi jujur, aku tak pernah merasa tersiksa. Diammu, tawamu (senyummu lebih tepatnya), gurauanmu, gaya bicaramu, langkah kakimu, postur tubuhmu, banyak lagi yang masih kuingat. Kau sendiri pasti heran bagaimana aku begitu hafal detail dirimu. Jangankan dirimu, aku pun begitu takjub.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kita bertemu. di kelas yang sama, absen kitapun berdekatan, sayangnya tempat duduk kita selalu berjauhan. Kau di depan, dan aku selalu menjadi penghuni barisan belakang. Aku masih tak ingat namamu meski di kelas telah disebutkan, sampai di akhir hari ketika di perpustakaan kita dipertemukan lagi. Kau mencari buku pelajaran-entah-namanya-apa, dan aku hanya numpang lewat baca Koran kolom olahraga. Dan hal itupun terjadi, ya…kita hanya saling melempar senyum. Tapi bukankah itu sebuah permulaan yang bagus.

Aku tahu apa yang ada di pikiran kalian sekarang? Kalian pasti bertanya-tanya seperti apa sosok dia? Ah bagaimana pula aku menjelaskannya. Kalian akan selalu menunduk jika berhadapan dengannya, kalian pasti tak akan kuat berhadapan lama dengannya. Wajahnya? Itu relatif, aku tak punya alat ukur untuk hal itu. Kalau kusebut dia pintar, itu pasti. Dibandingkan dengan aku yang selalu berada di bawahnya dengan selisih dua digit (berdasar peringkat). Dia adalah aktivis, selalu terdaftar namanya di setiap kegiatan dan setiap kepengurusan. Tapi hebatnya, tak pernah ada yang bosan bekerja sama dengannya, berorganisasi dengannya, malah yang ada tambah senang. Kalaulah boleh aku buat kiasan, waktu serasa berhenti ketika dia lewat. Tapi kita tak mampu untuk memandangnya langsung, saking indahnya. Kita hanya bisa menikmati melalui lirikan di ujung mata, yang berbias. Bisakah kau bayangkan?

Kalian telah mengetahui seperti apa dia, sekarang kalian tentu penasaran denganku, sang pemuja rahasianya. Jangan kecewa, aku hanyalah pria dari golongan kebanyakan, bukan seorang pangeran yang dengan segera pantas bersanding dengannya. Kalaulah dia banyak pujian, aku hanya netral saja, tak ada yang memuji ataupun mencela, kata lainnya tak terkenal. Sebelum kalian berpikir aku jelek, sebaiknya aku klarifikasi dulu, wajahku sebenarnya termasuk lumayan, ga jelek-jelek amat, hanya saja kurang menarik. Sekarang kalian paham kan bedanya jelek dan kurang menarik?

Dan seiring waktu kitapun bersama, kebersamaan sebatas di kelas. Kau tak pernah tahu betapa seringnya aku memperhatikanmu dari bangku belakang, tingkah polahmu, obrolanmu, aku tak tahu kenapa aku menikmatinya. Kebaikan hatimu, keramahanmu, kesupelanmu, begitu mudahnya dirimu menarik perhatian seluruh penghuni kampus. Dan tak perlu waktu lama untukmu menjadi idola, incaran setiap cowok. Dan aku yang semakin tersisih oleh seleksi alam ini, hanya semakin memendam nyali dalam gelapnya hati. Aku hanya menanggapimu tak lebih dari sekedar teman biasa, tak lebih dari teman sekelas, karena aku sudah merasa kalah, terkalahkan oleh kehendak alam, aku tak mampu menunjukkan sesuatu yang lebih dariku.

Dan tanpa sadar berlalunya waktu sering terlewat begitu saja, menghanguskan setiap momen yang sebenarnya bisa kita cipta. dan menyisakan penyesalan, atau mungkin juga pengharapan.

Seperti itu pun aku dan dia, berpisah begitu saja tanpa kesan. Berpisah karena memang waktu berkehendak begitu, sejak awal kita tahu waktu kita hanya beberapa tahun, tak lebih dari 5 tahun. Aku pasrah, memandangmu menjauh. Yang membedakan kita hanyalah aku masih mengenangmu, dan kau mungkin telah melupakanku. Ah ya seperti tadi kukatakan, perpisahan juga bisa menimbulkan pengharapan, menumbuhkan benih-benih asa baru. Terpupuk begitu saja.

Tak pernah kuprediksi sebelumnya, jarak ternyata berbanding terbalik dengan intensitas membayangkanmu. Semakin jauh kita terpisah, semakin deras aku memikirkanmu. Oh apalagi ini, bahkan ketika dekatpun aku tak punya kesempatan untuk mendekatimu, terlebih saat jauh begini. Tapi itulah uniknya hati, semakin tidak mungkin sesuatu, semakin kita mengharapkan memperolehnya. Biar…biarlah sejenak rasa ini menusukku, biarlah takdir mempermainkan hatiku, mengombang-ambingkan perasaanku.

Dan inilah aku, beberapa tahun setelah berpisah denganmu, aku membuat keputusan besar. Aku yang begitu pemalu, suka mengalah, tak suka bersaing, aku yang biasa-biasa saja, memutuskan untuk mendekatimu. Memutuskan untuk mengikatmu. Aku selalu tahu keberadaanmu, bahkan sejak kita berpisah dulu. Seperti biasa, aku selalu tahu setiap detail tentangmu.

Kalian sebut saja aku bergerilya, aku mencari segenap kekuatan, mengumpulkan segala informasi dari teman-temanmu, untuk memantapkan hatiku. Tak pernah aku seyakin ini dalam membuat keputusan besar dan penting. Sampai akhirnya tiba dimana titik ini berubah menjadi garis putus-putus.harapan yang membuncah itu perlahan meletus, menjadi buih-buih. Rencana besar itu urung kulaksanakan.

Dan kau tahu sebabnya? Ah bagaimanalah kalau kubilang aku ini memang terlalu pengalah, terlalu minder, terlalu pasrah. Memang salahku kalau dia tak pernah menganggapku, karena tak pernah ada usaha yang kulakukan. Aku hanya selalu bergantung pada takdir..mengecewakan. Bagaimanalah tidak, ketika keputusan besar itu telah final, tak disangka keputusan itu juga paralel dengan teman baikku. Apa pernah kusangka, teman baikku yang sekarang terpisah beberapa kota, tiba-tiba menelponku, mengabarkan ingin segera menikah, akan segera melamar seorang gadis, memintaku membantunya mempersiapkan segala sesuatunya. Tentu saja aku turut bahagia. Lalu di sepatah kata terakhirnya, terucaplah nama dia, gadis yang telah kuniatkan dengan sungguh-sungguh untuk kumiliki. Sepatah kata itu sudah cukup untuk merenggut segala harapan, nyali, kesempatan yang susah payah kukumpulkan. Maka segeralah ucapan selamat itu keluar dari mulutku, sementara bersamaan dengan itu ulu hatiku terasa tercabik-cabik. Kututup telepon dengan nafas tertahan.

Kalian bisa bayangkan bagaimana rasanya putus asa? Terperosok ke jurang terdalam kepesimisan. Terlalu gelap untuk melihat sekitar, terlalu lemah untuk berdiri apalagi mendaki, terlalu senyap untuk membuatmu bangun. Itulah yang kurasakan. Apalagi yang amat kutakutkan, hilangnya kesempatan itu. Kesempatan untuk mengatakannya, kesempatan hanya untuk membuatnya tahu. Tak mungkin aku menghancurkan impian besar temanku, merenggutnya tanpa meninggalkan sisa-sisa untuknya. Itulah mengapa kusebut diriku terlalu pengalah. Tak mungkin pula aku memiliki kesempatan untuk bersaing dengannya, melawan segala kelebihan miliknya, kebaikan hatinya, kedewasaannya, kesupelannya, keramahannya, dia terlalu sempurna untuk kulawan. Itulah mengapa kusebut diriku terlalu minder. Tak mungkin pula aku mengatakan padanya aku ingin memiliki gadis itu, mengajaknya bersaing secara sehat, biar gadis itu yang memilih. Itulah mengapa kusebut diriku terlalu penakut. Tak mungkin pula aku mengkhianati kebaikannya selama ini, membiarkan untuk merengkuh kebahagiaannya, entahlah kusebut seperti apa diriku, karena aku selalu senang melihat orang lain bahagia. Aku tak yakin itu sesuatu yang salah….

EPILOG
Aku duduk di beranda rumah, dengan jaket melilit sempurna tubuhku, sudah terlalu tua aku untuk angin malam seperti ini. Menunggu kedatangan cucu-cucuku. Istriku pelan dari dalam rumah menghampiriku, dengan susah payah membawakan secangkir teh hangat. Duduk tersenyum di sampingku. Aku memegang pelan kakinya, memijitnya, mengulang momen kebersamaan ini bahkan sejak kami muda, senyumnya tak pernah berubah. Kini tak lagi aku duduk di belakang, dia di depan. Kami selalu bersisian.

MISSING PART
Aku telah dilamar, tinggal menghitung waktu untuk hari bersejarahku. Semua telah dipersiapkan dengan baik, sebaik calon suamiku. Harapan telah membuncah, mimpi telah disulam, dirangkai menjadi gugusan terindah. Tapi tetaplah takdir yang berkuasa, menelikung setiap rencana manusia, selalu memberinya pilihan sulit yang tetap harus diambil. Aku kecelakaan. Kakiku cacat seketika. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya, itupun tak akan sempurna. Permanen. Lalu dengan mudahnya segalanya luruh, lebur. Pernikahan batal, calon suamiku tak menginginkan istri yang cacat. Aku tak menolak, karena aku selalu yakin akan ada akhir yang baik bagi orang baik.

Beberapa bulan kemudian, aku menerima message, dari seseorang yang menyatakan akan melamarku. Menanyakan apakah aku telah ada yang melamar, menanyakan kesempatan untuknya. Tentu saja aku mengenalnya, aku hanya tak bertemu dengannya beberapa tahun, lebih sedikit disbanding aku sekelas dengannya dulu. Tentu saja aku mengenalnya, lelaki biasa yang tak pernah berusaha mendekatiku, lebih banyak menunduk ketika berkesempatan berbicara denganku, lebih banyak diam tak menarik perhatian. Tentu dia tak pernah tau, kalau yang dia lakukan selama sekelas dulu malah lebih menarik perhatianku dibanding siswa lain yang lebih agresif. Dia tak pernah tahu bagaimana aku menunggunya dulu, menunggunya untuk membuat kesempatan, sampai di titik akhirnya aku menyerah menunggunya, memilih lelaki lain yang meminta kesempatan itu.

Begitulah takdir, dia datang kembali, menjemputku. Aku tahu, bagaimana ketika untuk pertama kalinya datang kerumahku, untuk langsung melamarku, tak keberatan menerima kekuranganku, dengan tertunduk, dia meyakinkan keluargaku, semua akan baik-baik saja. Dan aku tahu, dengannya, semua pasti akan baik-baik saja.

Selasa, 08 Februari 2011

Malam itu....

Hujan turun teramat deras. Aku tahu, mungkin malam ini terakhir kali aku melihat rona wajahnya. Hanya sekarang, tak ada lain kali. Petir sesekali menyambar, sedikit menerangi jalanan yang redup. Jangan kau berharap pada tiang lampu jalanan, entah sudah berapa bulan tak lagi bercahaya, tak digubris pula sama pak RT. Dalam kilauan pantulan petir, dapat kulihat wajahnya. Wajah itu, yang aku yakin akan sulit kulupakan. Angin bergetar hebat, tahu saja perasaanku malam ini. Dia ikut mengamuk, toleransi padaku. Menerbangkan buih-buih daun kering, yang sekarang kuyup oleh air hujan, tak berdaya.
Sejenak tadi aku berteriak memanggil namanya. Dia menoleh, tak berucap kata. Kami sekarang berhadapan. Layaknya patung hiasan tugu pinggir gerbang. Dinginnya air hujan jelas terasa menusuk tubuhku, tapi apalah daya, otakku sudah tak terfokus memikirkan kulitku yang membeku dan mati rasa. Aku tahu, dia menanti kata-kata dariku. Tapi tak tahu kenapa, lidahku kelu. Serupa itu pula kakiku. Aku bahkan tak berdaya untuk mendekat padanya. Aku tak mengerti.
“aku mencintaimu!!!” teriakku sekencang-kencangnya, berbarengan dengan suara gemuruh murka langit yang menurunkan berkah.
Nafasku tersengal, tak kusangka, sepotong kata itu menguras energy yang begitu banyak, mencuri oksigen yang begitu besar. Kuusap mukaku yang penuh air. Kulihat dia hanya terdiam. Ekspresinya datar. Entahlah.
“aku tahu aku tak sehebat dia. Akupun sadar aku tak sesabar dan sebijak dia. Aku tahu aku tak kan mampu sedikitpun melampaui dia.” Aku tersengal.
“dia memang lebih bisa diandalkan, lebih pintar dan cerdas. Bicaranya berbobot, bermakna. Dia pemimpin yang hebat. Bisa mengajakmu dan membimbingmu menjadi lebih baik.” Aku terbatuk.
“aku juga tahu dia lebih popular. Temannya teramat banyak, jangan bandingkan denganku yang kuper. Dia disukai semua orang, semuanya. Semua pasti akan membela dan menolongnya kalau ada apa-apa.” Nafasku memburu.
“aku tahu dia menjanjikan masa depan yang lebih indah untukmu. Memberimu yang kau butuhkan. Dia juga orang yang menyenangkan jika dipandang. Disegani orang. Dia hebat.” Aku tersedak.
“dan aku tahu, dia sempurna untukmu.” Aku tertunduk.
Sekejap tadi, kata-kata yang kuucapkan sendiri bergemuruh, berpilin, memintal sempurna, dan mutlak menghujam hatiku. Kata-kata itu menusukku bagai ribuan sembilu, lebih menyakitkan daripada melihat wajahnya saat ini. Wajah yang sejak sepuluh detik tadi berubah pilu, berubah pias. Aku tahu, di balik rintik hujan ini, dia menangis.
“aku tahu dia sempurna untukmu.” Mataku basah. “tapi, apa tak ada kesempatan lagi untukku, sebelum kau memilihnya? Apa benar-benar sudah sirna?”
“maaf….”
Petir menggelegar. Setahun ini, baru satu patah kata itu yang kudengar darinya. Satu kata yang langsung meluluhkan benteng hatiku, yang berumur tahunan ini. Tak merasa perlu untuk tahu reaksiku, dia sudah berbalik, berjalan menjauh. Meninggalkan aku yang berdiri rapuh, diserang hujan yang semakin ganas dan angin yang semakin kuat. Aku jatuh terduduk. Bukan, bukan karena hujan dan angin, tapi karena uratku terasa sudah putus, tercerabut begitu saja dari akarnya.
Aku merasa akan hancur selamanya. Aku merasa wajahnya akan menghantuiku bertahun-tahun lagi.

#

Aku menatap keramaian ini. Aku kenal mereka. Ayah ibu, kakak, saudara, tetangga, teman sekolah, teman main, Pak RT, Pak RW, Pak Kasun, guru-guru. Oh banyak sekali, aku ingat sekali wajah mereka. Semua tersenyum, sedikit banyak tertawa. Oh aku juga, aku juga tersenyum. Lempar sana-lempar sini. Suasana di sini begitu hangat, menyenangkan. Ah ya, hatiku pun terasa bergembira. Apa pula ini.
Aku duduk dikelilingi banyak orang. Wajah-wajah yang akrab bagiku. Tidak, ada beberapa yang tak kukenal. Orang di depanku, asing.
“siap nak?” Tanya orang asing di depanku.
“ah maaf?” aku tak mengerti, kesadaranku hilang.
Lihat, orang itu malah tersenyum. “ok, 5 menit lagi ya..”
Kenapa?  Apa maksudnya ini? 5 menit lagi? Ada apa?
Aku memejamkan mata. Memfokuskan pikiranku, menerka, mengumpulkan semua informasi, menyusun sketsa yang kuingat, mencari secuil jawaban.
Lalu pemahaman itu datang.
“saya siap!” 3 menit kemudian. Aku tersenyum.
“baiklah, tirukan kata-kata saya…”
Tak lama, 2 menit kemudian buncahlah ruangan ini. Kegembiraan, senyuman, gelak. Oh indahnya dunia hari ini. Tak sadar, aku meneteskan sebutir air mata. Aku menengok ke atas, lantai 2. Melihatnya. Dia tersenyum amat manis, menangis haru.
Aku ingat semuanya.

#

Malam itu, malam aku terduduk pias kedinginan di pinggir jalan, dia menemukanku. Menawariku payung. Mengajakku untuk menghangatkan diri sejenak di rumahnya. Memberiku secangkir coklat panas. Mengakrabkanku dengan ayah ibunya. Keluarga yang menyenangkan. Aku tak tahu kenapa tadi aku menurut saja ketika diajaknya. Aku tak tahu, takdir mulai bermain di sini. Takdir langit yang indah.
Malam kedua aku bertamu ke rumahnya, dia bercerita banyak tentang dirinya, ayah ibunya bercerita tentang keluarga mereka. Aku seperti mengenal mereka bertahun-tahun.
Malam ketiga aku bertamu ke rumahnya, aku sadar, aku jatuh cinta padanya. Hatiku pulih dengan cepat, terlalu cepat malah.
Malam keempat aku bertamu ke rumahnya, aku melamarnya. Aku hanya berbicara pada orang tuanya, tak tahulah bagaimana wajahnya saat itu.
Malam kelima aku bertamu ke rumahnya, aku mendengar jawabannya, setuju.
Malam keenam aku bertamu kerumahnya, aku menyusun jadwal, undangan, segala persiapan.
Dan sore ini, menjelang malam ini, dia sah menjadi istriku.
Kau tahu, dia mengobati hatiku dengan cepat, terlalu cepat malah.

Rabu, 26 Januari 2011

Aku Tak Mengenalnya...

Gadis itu sudah beberapa hari ini nebeng di motorku. Dan tentu saja, aku tak bisa menolaknya. Tak ada alasan yang bisa kubuat untuk itu. Jadi aku diam. Biarlah dia tetap duduk di belakangku, berkeliling kota Jakarta ini, toh aku juga tak ada agenda. Maka beberapa hari ini kami berkeliling bersama, menikmati macet dan panasnya sengatan matahari.
Aku tak mengenalnya, beberapa hari yang lalu. Di tepi jalan dekat kantor, waktu aku membeli minuman di asongan. Panas Jakarta membuatku muak. Lalu dia di sana, seperti sedang menunggu. Aku tak yakin, kupikir begitu. Dia melihatku, tepat saat mataku menatapnya. Lalu tersenyum, berjalan mendekatiku.
“Boleh ikut??”
Lalu begitulah, sampai akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu di jalan bersamanya.
“Kamu tahu namanya?” temanku bertanya, membetulkan letak kacamatanya.
“nggak.”
“kok bisa?” kali ini dia melepas kacamatanya. Menatapku serius.
Kami memang bersama setiap siang. Tapi hanya itu, kami hanya berkeliling bersama dengan motor. Mengelilingi Monas, Thamrin, Lapangan Banteng. Hanya saja kami tak pernah mengobrol. Bahkan saat berhenti istirahat. Kami hanya saling memandang, tapi tak pernah ada suara yang keluar. Dia hanya selalu tersenyum padaku. Akupun merasa kikuk dan gugup untuk bertanya namanya. Entahlah, apa dia juga tak tahu namaku. Tapi beberapa waktu itu, sudah cukup untuk membolak-balikkan hatiku. Kalaupun rasa ini muncul, wajar bukan?
“apa kau tak bilang padanya?” temanku memakai lagi kacamatanya. Entahlah, kenapa dia suka sekali bermain dengan kacamata itu.
“bagaimana mungkin? Aku baru mengenalnya beberapa hari. Aku tak mau dia menjauhiku.”
“lalu kau pikir, dengan diam saja itu lebih baik?”
“paling tidak, aku masih bisa menghabiskan waktu dengannya.”
“apa dia terlihat juga menyukaimu?”
Aku selalu menatap dia akhir-akhir ini. Ingin mengungkapkan pertanyaan itu. Sampai ketika, aku nekat membulatkan tekad, menatapnya saat kami istirahat di tepi jalan, berniat mengatakannya. Tapi dia mendahuluiku.
“kau tahu pria berkacamata yang lewat sini setiap sore.”
“yang mana?” aku mengurungkan sebentar niatku.
“yang memakai motor gedhe itu, motor warna ijo. Kamu sepertinya sering ngobrol dengannya.”
“oh iya..aku kenal.”
“bisa aku titip sesuatu untuknya?”
“apa?”
Dia menyerahkan sebuah amplop surat. Warna cerah, sangat kasual.
“aku sudah lama menyukainya, cuma aku bingung mengatakannya. Makanya aku tiap hari berdiri di tepi jalan, melihatnya, berharap dia menegurku.”
Aku tak melihat lagi gadis itu minggu ini. Dia tak ada di tepi jalan kantor lagi. Entah pindah kemana. Mungkin sekarang sudah mulai pulang bareng temanku yang berkacamata itu. Yang suka memainkan kacamatanya. Mungkin nebeng dia. Mungkin pula dia bosan menunggu. Yang jelas, surat itu tak pernah sampai ke temanku. Entah sekarang berada dimana, waktu kubuang dulu di aliran Kali Ciliwung.

sketsa itu...

Pameran lukisan di balai kota. Dari luar, suasana terlihat lengang, tapi jangan bayangkan keadaan di dalam. Kau akan melihat masyarakat strata atas memenuhi balai kota itu. Berjas dan bergaun. Kau akan melihat lapisan terhormat penduduk bumi ini. Dan disitulah dia, gadis itu, beranjak pelan-pelan memasuki pintu yang dijaga sekuriti berwajah ramah. Langkahnya teramat pelan, seperti mengendap-endap. Keringat sedikit mengucur, menambah pias wajahnya. Tas ransel tersampir di punggungnya yang ringkih. Demi melihatnya, seketika wajah ramah sekuriti beralih menjadi wajah beringas. Menakutkan. Sejenak gadis itu terlihat mengurungkan niatnya untuk masuk, tapi akhirnya dia melangkah maju. Menunjukkan sehelai tiket masuk, yang dipandang sekuriti dengan muka heran. Bagaimana bisa?

#

Anak lelaki itu bermandikan peluh, berteduh sebentar di tumpukan karton yang membias matahari. Bibirnya kering. Kepanasan. Sebentar kemudian, dia merogoh karung di sampingnya, hasilnya hari ini. Tak menyadari, bahwa disampingnya telah duduk seorang gadis cilik, sekitar 2 tahun di bawahnya. Gadis itu tak bergeming, hanya melihat apa yang dilakukan anak lelaki itu. Anak lelaki itu tersenyum, senang, memegang sebuah buku tulis. Lusuh, tapi masih ada beberapa lembar yang kosong.
“apa itu?” Tanya gadis cilik, sedikit mengejutkan. Kepalanya sedikit miring, ingin tahu buku apa itu.
“ini buku tulis.” Jawab anak lelaki itu singkat, tak menoleh.
“buat apa? Kamu kan nggak sekolah. Nggak perlu buku tulis.”
“ya…lagian aku nggak suka nulis. Aku mau nggambar. Buku yang kutemukan minggu lalu dah habis.”
Gadis itu diam. Ya memang, anak lelaki itu amat pandai menggambar. Gadis itu juga paling suka dilukis. Bahkan beberapa gambarnya ditempel di dinding tripleks kamarnya, sekaligus kamar seluruh keluarganya.
“kamu mau aku lukis lagi ga?” Tanya anak lelaki itu memecah keheningan.
“mau..mau…” bersorak.
“mukanya aja ya, kalau seluruh badan ntar ketahuan bajunya ga pernah diganti..hehehe!”
“hahaha…”

#

Gadis muda itu tak pernah menduga akan kedatangan tamu. Tamu spesial. Gadis itu tampak tertegun, kehilangan kesadaran sesaat, menelan ludah. Di depannya berdiri sosok yang begitu dikenalnya luar dalam, selalu mengisi harinya. Tapi itu dulu, bertahun-tahun lalu. Sebelum sosok itu menghilang, tak pamit. Sekarang lihatlah, sosok lelaki muda itu berdiri di hadapannya. Tampak jauh berbeda dengan bayangannya. Baju rapi, terlihat mahal. Badannya juga bersih, tak kumuh lagi. Tapi lihatlah, wajahnya sepi, sunyi. Sama sekali tak bercahaya. Redup. Pias. Lelah. Susah menggambarkan ekspresinya. Tak tampak gairah hidup tercermin darinya. Tapi lelaki itu masih mengupayakan seulas senyum. Miris melihatnya.
“hai…”,ucap lelaki itu.
Gadis itu hanya diam. Membeku.
“kau tak menyuruhku masuk?”,ucapnya lagi.
Di luar rinai gerimis sedang menari. Tampak sepatu lelaki tersebut sedikit berlumpur, akibat melewati setapak jalan becek tadi. Gadis itu menyingkir ke samping, isyarat menyuruh masuk, tetap diam. Lelaki itu masuk ke dalam rumah, ah gubuk sebenarnya, menghirup udara pelan, tersenyum.
“rumahmu indah sekali…”,ucapnya lagi.
Tiba-tiba saja lelaki itu merasa tubuhnya tak bisa bergerak. Gadis itu memeluknya dari belakang, kencang. Pelan sekali, lelaki itu mendengar isak tertahan, seiring dengan bekas hangat membasahi punggungnya.
“kamu kemana saja?”ucap gadis itu, setelah beberapa lama, melepaskan pelukannya. Mereka duduk di kursi kayu lapuk. Lelaki itu tersenyum lemah.
“maaf ya aku baru sempat menengok. “
“ga papa…”
Hening.

#

Gadis itu berjalan sedikit kikuk menyusuri lorong-lorong yang dipenuhi orang. Matanya terkagum-kagum memandang sekeliling. Di tiap dinding, terpasang pigura-pigura indah berisi lukisan tak ternilai. Bertema. Berirama. Menimbulkan dunia tersendiri. Semua terpasang sempurna, berjarak proporsional. Di depan setiap lukisan itu berdiri manusia-manusia yang masih mengagumi karya sang maestro. Tapi gadis itu tetap melangkah lurus, sama sekali tak berhenti untuk sejenak menikmati satu lukisanpun.
“dimana ya?? Dimana ya???” hatinya selalu bertanya-tanya sejak tadi. Bergemuruh sendirian. Mukanya tetap menengok kiri-kanan. Mencari sesuatu, tujuannya.
Akhirnya dia lelah, bingung sekaligus. Dilihatnya seorang petugas jaga sedang berjalan berkeliling. Sedikit takut-takut, dia menghampirinya.
“eh..eeee..maaf..pak…kalo itu, eee lukisannya Ardhinsy…eee..dimana ya..ee..tempatnya???”tanyanya gugup, takut.
Petugas jaga itu meneliti wajah sang gadis, menyelidik, lalu tersenyum.
“mau lihat lukisan Ardhinsy ya? Lurus saja, belok ke kanan, nanti ada ruang tersendiri. Itu lukisan utama pameran kali ini.”jawabnya ramah, sambil menunjuk arah.
“eee..teri..ma…kasih..ee..pak” ucap gadis itu, buru-buru melangkah.
Gadis itu berjalan cepat ke arah yang ditunjukkan petugas jaga tadi. Bergegas. Tinggal sedikit lagi. Gadis itu sama sekali tak memperhatikan sekeliling, hampir menabrak seorang ibu-ibu pengunjung. Lima meter lagi. Semakin terlihat banyak kerumunan. Semakin padat. Akhirnya, sampailah dia di ruangan itu. Tak luas, hanya sebentuk kotak persegi. Memang sih, lebih besar daripada gubuknya.
Di ruangan itu masih banyak orang. Gadis itu menatap sekeliling ruangan, terfokus pada dinding-dindingnya, dan pelan-pelan, tubuhnya mulai membeku.

#

“wah bagus-bagus ya, mirip banget. Nggak nyangka aku cantik kalo dilukis…hehehe!” ujar gadis cilik itu, memamerkan gigi putihnya. Dengan tekun dibukanya satu per satu halaman buku tulis lusuh yang dipegangnya. Di sebelahnya, tersenyumlah anak lelaki itu.
“nanti aku mau jadi pelukis.” Ucap anak lelaki itu, menerawang ke langit. Cerah.”ntar aku mau bikin lukisan yang banyak, terus dijual, ntar kamu kukasih bagian.” Yakin.
“hehehe…ntar bisa kaya donk?!”
“iya, bisa punya banyak uang hasil jual lukisanku. Bisa jadi pelukis terkenal.”
“wah bisa beli rumah ya?”
“tentu saja. Aku akan beli rumah sendiri, pindah dari tempat kumuh ini.”
Mendengar itu gadis cilik itu terdiam. Anak lelaki itu menoleh.
“kenapa diam?”
“kamu mau pergi ya ntar?” seketika anak lelaki itu paham maksudnya.
“iya, aku akan pergi. Kamu juga akan kuajak tentunya, aku ga akan ninggalin kamu.”
“benarkah??”
“iya, tentu aja. Kita berdua bakal keluar dari tempat ini kalau aku punya uang hasil lukisanku nanti.”
“janji ya…”
“janji…”
Matahari mulai tenggelam, menyisakan aroma sore yang khas, aroma sampah di tempat pembuangan itu.

 #

Lelaki itu masih duduk di kursi lapuknya. Di depannya telah tersaji secangkir kopi pahit, tak ada gula di rumah itu. Tadi kopi itu dibuat saat hening mendera mereka berdua. Saat ini, gadis itu sudah kembali duduk di kursinya, di sebelah lelaki itu. Diam-diam menyusuri gurat wajah sang lelaki, memandang dengan penuh kerinduan, sosok yang memenuhi masa kecilnya. Meneliti lekuk per lekuk, menyelidiki senti demi senti, lelaki itu tampak letih, lebih tua dari usia sebenarnya. Tampak lelah. Sejenak gadis itu merasa iba, benar-benar ingin memeluknya lagi.
Tapi tak begitu halnya dengan lelaki itu. Di rumah atau gubuk ini, dia merasa damai. Sudah lama lelaki itu tak merasakan aroma tanah yang diguyur hujan seperti ini. Kayu-kayuan, bambu tua, sangat merindukannya. Suasana ini membuatnya tenang dan nyaman. Dia diam, karena menikmati semua ini, karena mungkin sebentar lagi lelaki itu tak mampu merasakannya lagi.
“sudah berapa lama tinggal disini??” Tanya lelaki itu, memecah sepi.
“cukup lama, setahun lebih…”
“nyewa…??”
“iya…gubuk ini tak terpakai. Pemiliknya berbaik hati ngizinin aku tinggal di sini, tentunya dengan sewa yang murah. Padahal gitu aja aku sering nunggak bayarnya, tapi bapaknya ga pernah marah…hehehe!”
“ohhh…”
Hening lagi. Mencekam.
“maaf…” ucap lelaki itu setelah diam beberapa saat.
Gadis itu menghela nafas pelan, menghembuskannya perlahan.
“untuk???”
“semuanya. Untuk janjiku dulu, untuk harapanmu, untuk kehidupanmu di sini…semuanya…maafkan aku.” Suara lelaki itu bergetar.
“nggak…nggak kok, nggak ada yang perlu dimaafin. Aku senang lihat kamu hari ini. Melihat gurat wajahmu, senyummu, semuanya…bagiku, kamu selalu sama seperti sejak kecil dulu. Melihatmu sekarang, sudah cukup untuk mengobati penasaranku…atas kepergianmu dulu…aku tak butuh penjelasan apapun..”
Semua terdiam. Hati lelaki itu panas, bergejolak. Tak terasa genangan air hangat telah mengembun di sudut matanya. Tak ingin dilihat si gadis, lelaki itu berdiri, melangkah ke tepian pintu, memandang gerimis yang semakin deras di luar gubuk reyot itu.
“oh ya, aku punya sesuatu untukmu…sebentar…” lelaki itu melangkah keluar, dan kembali dengan sebuah gulungan kertas besar. Menatap gadis itu lamat-lamat, lalu mendekatinya.
“untukmu…”ucap lelaki itu.
“apa ini??”
“lukisan. Sudah lama aku menyimpannya, sudah lama pula aku ingin menyerahkannya padamu. Baru sempat sekarang.”
“menurutmu, apa dinding di sini akan jadi lebih indah kalau kutempel lukisan ini?”
“paling tidak, kau akan senang waktu melihatnya.”
“makasih.”
“semoga lukisan itu berguna nantinya.”
Dan gerimis di luar perlahan berubah menjadi hujan deras.

#

Tercengang. Tidak, bukan hanya itu. Benar-benar membeku. Lihatlah di sana, di dinding itu. Berderet lebih dari sepuluh lukisan dari Ardhinsy. Lukisannya memang teramat bagus, tapi bukan itu yang menyebabkan gadis itu terpaku. Lihatlah sekali lagi. Lukisan itu….
Di sana, terlihat dengan sangat jelas siapa obyek lukisan itu. Lukisan realis itu teramat mirip dengan aslinya. Tak perlu berpikir lama untuk mengenalinya, obyek itu dilihatnya setiap hari. Di cermin. Gadis itu sendiri tergambar di sana. Lukisan itu berantai. Mulai dari pojokan, menggambarkan gadis cilik sedang mengais sampah, mirip dengan dirinya dulu, sampai gadis itu beranjak remaja, sampai akhirnya menjadi gadis belia. Semuanya benar-benar menyerupainya. Tapi bukan itu saja yang membuatnya terkejut, dari mana semua lukisan itu berasal.
Pelukisnya, lelaki itu sangat dikenalnya. Lelaki temannya sejak kecil itu. Gadis itu tahu, karena dari lelaki itulah info pameran serta tiket masuk ke balai kota ini. Tapi lebih dari itu, keterkejutannya belum berhenti. Masih ada hal lain yang ganjil.

#

Sore itu, gadis cilik itu duduk bersandar di tumpukan kardus yang selama ini menjadi tempatnya berteduh. Menunggu. Yang ditunggu tak kunjung datang. Temannya ngobrol, dan bersandarnya selama ini. Sudah dianggap kakak, teman, ayah, dan lainnya. Hanya lelaki cilik itu yang mau peduli padanya di tempat kumuh ini, selain tentunya para sampah dan lalat hijau.
Matahari beranjak condong, tapi batang hidung lelaki itu belum juga muncul. Gadis cilik itu mulai resah. Tak disadarinya, seorang ibu setengah baya mendekatinya.
“lagi apa di sini??”
“menunggu.”
“bocah lelaki itu?”
“he-eh.”
“dia sudah pergi. Tadi ada yang menjemputnya, mengajaknya pergi. Tasnya juga dibawa. Mungkin tak akan balik ke sini lagi.”
Gadis itu diam. Tak memperhatikan lagi apa yang diucapkan ibu itu. Tak sadar pula ketika ibu itu sudah pergi menjauh. Hatinya kebas. Panca inderanya luntur. Mukanya pias. Dan tubuhnya membeku. Dia pergi. Kenapa? Bukankah dia telah berjanji mengajakku? Kenapa tak pamit?
Begitu banyak pertanyaan menggaung di kalbunya. Bahkan kulit pipinya terasa mati sampai-sampai tak menyadari buliran hangat mengalir dari matanya. Tak terisak. Tak tersedan. Tetap diam. Tapi dia menangis. Begitu perih. Seorang terpenting di dunianya tercabut dari hari-harinya. Kesepian.

#

“bukalah nanti.” Ucap lelaki itu sembari berjalan menuju pintu.
“mau kemana?”
“aku nggak bisa lama.” Menoleh ke arah gadis itu, tersenyum,”aku ada urusan.”
“di luar masih hujan. Apa nggak bisa ditunda dulu?”
“maaf..”
Baru selangkah berjalan, lelaki itu berbalik. Memeluk erat gadis itu. Gadis itu tampak terkejut, adegan tiba-tiba itu tak terbersit di bayangannya. Tapi dia diam saja. Menikmati pelukan hangat lelaki itu, yang sangat lama dirindukannya. Beberapa lama kemudian, lelaki itu melonggarkan pelukannya, membuat jarak dengan gadis itu.
“aku lupa sesuatu..” ucap lelaki itu. Tangannya merogoh saku celananya.”ini tiket pameran lukisan di balai kota akhir minggu ini. Datanglah. Sebagian lukisanku ada di sana.”
“kamu juga ada di sana?”
“datang saja…” lelaki itu tersenyum.
“apa kamu akan ke sini lagi?”
“aku pergi dulu. Baik-baik ya…”
Lalu lelaki itu berjalan keluar rumah, menerobos deraian rintik hujan di luar. Gadis itu menatap punggungnya yang mulai menjauh, ditangannya masih menggenggam erat sepotong kertas kecil itu.

#

Bagi pengunjung yang lain, terlihat tak ada yang aneh dengan lukisan itu. Lukisan aliran realis yang memiliki “nyawa”. Bahkan, lukisan itu langsung menjadi rebutan para kolektor. Lukisan itu berurutan dari awal, menceritakan sesuatu di dalamnya. Kehilangan satu lukisan saja, maknanya akan hilang. Harganya langsung melambung tinggi hari itu juga. Semua memburunya.
Tapi tidak bagi gadis itu. Lihatlah wajah piasnya. Masih menyembunyikan bekas keterkejutannya. Coba tanyakan kenapa? Apa yang aneh?
Lihatlah lukisan itu. Di sana terpampang wajahnya mulai dari kecil sampai sekarang. Tidakkah kau ingat, lelaki itu meninggalkannya sewaktu dia masih seorang gadis cilik. Masih gadis ingusan. Bagaimana ceritanya coba, lelaki itu bisa menggambar gurat wajahnya ketika gadis itu remaja sampai dewasa. Bahkan seorang pelukis hebatpun tak akan mampu melukis gurat kedewasaan yang bertambah seiring usia. Bagaiman ceritanya coba, lukisan itu semakin mirip dirinya, semakin terasa melihat dirinya di cermin. Bagaimana bisa?
Itu misteri, tapi cukup untuk membuat gadis itu meneteskan air mata. Melihat pertumbuhannya sendiri, yang tergambar jelas di lukisan itu, menatap sketsa wajahnya, meratapi dirinya di lukisan itu.
“ini adalah karya terbesar Ardhinsy, sengaja tidak dikeluarkan sampai konsep cerita yang dikandungnya lengkap. Lukisan Ardhinsy kali ini berantai, mempunyai nyawa yang saling tersambung, tak bisa terlepas. Tiap segmen menyajikan latar berbeda, tapi saling berhubungan. Cita rasa seni yang amat tinggi. Artinya, kehilangan satu lukisan saja, akan meniadakan makna sebenarnya yang tersimpan di dalamnya. Maka dari itu, ke-13 lukisan ini akan kami lelang untuk satu pemenang saja, tak akan dijual terpisah. Itulah peraturannya….”
Suara pembuka sang pemandu memecah kekaguman yang tercipta di ruang kecil itu. Menyadarkan sebentar logika gadis itu. Buliran air matanya belum juga mau berhenti. Beberapa kata dari pemandu lukisan ada yang masuk ke telinganya, tapi lebih banyak yang tersapu angin, tak bersisa.
“harganya mencapai ratusan juta….”
“saya punya semua koleksinya…”
“saya naikan harga jadi 1 milyar…”
“siapa yang mau menaikkan lagi tawarannya…”
“lukisan ini memang sangat menakjubkan…”
Kata-kata itu berputar di kepalanya, tak dikenalnya, terlalu asing.
“saya akan sampaikan sebuah rahasia kecil tuan dan nyonya. Ke-13 lukisan ini bisa dianggap sudah selesai, maknanya sempurna di dalamnya. Gambar berantainya sudah habis. Tapi tidak menurut Ardhinsy. Ada satu lukisan lagi yang menjadi ending alternatif dari rangkaian lukisan ini. Sebuah lukisan yang akan menguak segala cerita di sini. Sebuah lukisan yang menjelaskan semuanya, apa yang ingin disampaikan Ardhinsy. Sayangnya, Ardhinsy tak mengatakan dimana lukisan itu berada, apakah sudah selesai, apakah lukisan itu juga akan dijual, tak ada yang tahu.
Dan baiklah, ke-13 lukisan ini akhirnya dimenangkan oleh Tuan Handi seharga 3 milyar. Selamat untuk Tuan Handi.”
Tepuk tangan bergemuruh, menyadarkan gadis itu dari isaknya. Kata-kata terakhir sang pemandu menerangkan segalanya.

#

Begitu lelaki itu pergi, entah kemana, gadis itu masih termenung di depan pintu. Hujan masih deras mengguyur. Sebentar kemudian, gadis itu duduk. Teringat gulungan yang diberikan lelaki itu. Membukanya perlahan. Disanalah, berbarengan dengan petir menyala di luar, gadis itu bagai melihat cermin. Gambar sederhana. Gambar sebuah cermin rias, yang di dalam cermin itu memantul sketsa wajah, wajah dirinya sendiri. Wajah gadis itu. Sangat memesona.
Gadis itu begitu menikmati gambar dirinya sendiri. Bertanya dalam hati, kapan lelaki itu melukisnya, bertemu saja baru hari ini setelah berpisah bertahun-tahun. Tapi pertanyaan itu berhenti, tatkala dia meneliti tiap detail lukisan itu, di sanalah, di pantulan cermin, di pojokan, tampak segurat wajah lelaki yang sedang duduk, menatap gadis itu dari belakang, sketsa wajah yang dikenalnya, yang baru saja meninggalkan pintu rumahnya, wajah lelaki itu. Tersembunyi dengan amat sempurna, kalau saja kau tak meneliti detailnya, niscaya kau akan menganggap gambar itu tak ada.
Di pojokan bawah lukisan itu tertulis catatan kecil. ‘bawalah lukisan ini di pameran nanti. Semoga berguna.’ Hanya seperti itu. Gadis itu tertegun, tak mengerti maksudnya. Tapi kelak, dia akan mengerti semuanya.

#

Seketika gadis itu teringat gulungan yang dibawanya, yang dimasukkan dalam tas ransel besarnya. Mengeluarkannya, membuka. Seketika itu juga dia menyeruak di antara pengunjung, langsung menghadap sang pemandu. Setengah gugup, setengah tergesa-gesa.
“ma…maaf..pak…eh..ini..eee…apa ini…ee..lukisan yang dimaksud???” tanyanya gugup.
Pemandu itu memandangnya dengan wajah bertanya-tanya. Siapa pula gadis sederhana ini, kalau tak bisa dibilang kumuh.
“maaf, maksudnya??” Tanya pemandu.
“eee…ini..lukisan terakhir itu???”
Pemandu itu menatap gulungan kertas itu. Memegangnya, sejenak menatap para pengunjung yang menyaksikan penasaran, lalu perlahan membukanya. Lukisan itu muncul. Pemandu itu terdiam. Tuan Handi juga. Seluruh pengunjung di sana diam seribu bahasa. Tak ada suara. Bahkan hela nafas saja harus permisi untuk bisa terdengar.
“ini..i..ini…dari mana kau dapat ini???” Tanya pemandu terbata-bata.
“eee…dia langsung..mem..memberikannya padaku.”
“maksudmu….Ardhinsy???”
“i…iy..ya..”
Bergemuruhlah seketika ruangan itu. Satu puzzle tiba-tiba muncul, satu teka-teki akhirnya hadir, satu misteri terkuak. Karya superior dari sang maestro lengkap sudah. Cerita itu mencapai endingnya.
“aku tawar 5 milyar, bagaimana???” suara Tuan Handi menggema diantara keriuhan itu. Semua mata tertuju ke Tuan Handi.
“kalau lukisan ini asli, saya beli 5 milyar, sekarang juga. Saya sudah membeli ke-13 koleksinya, mana mungkin saya akan membiarkan orang lain memiliki ending dari lukisan ini.”
5 milyar. Jantung gadis itu berdetak lebih cepat, darahnya membeku, bibirnya mengatup. Membayangkan uang sebanyak itu pun dia tak pernah. Padahal niatnya tadi hanya ingin memberitahu, bahwa mungkin gulungan lukisan itu adalah yang dicari-cari semua orang di sini. Tapi lihatlah, dengan spontan semuanya berubah. 5 milyar!!!!
Begitu Tuan Handi menyerahkan selembar cek 5 milyar, mereka berjabat tangan. Sah lah jual beli tersebut. Gadis itu keluar ruangan bukan lagi gadis miskin nan kumuh, tapi gadis dengan uang 5 milyar di tangan. Begitu mau keluar balai kota, sang pemandu tadi mencegatnya.
“bagaimana kau bisa mendapat lukisan itu???”
“ehhh maaf???”
“bagaimana??? Aku saja tak diberitahunya.” Ucapnya dengan wajah serius.
“anda siapa???”
“aku sekretarisnya, sahabatnya, orang paling dekat dengannya selama ini. Dia tak pernah mengatakan dimana lukisan itu. Bagaimana bisa ada padamu??? Siapa kamu???”
“aku..eee…aku Cuma teman kecilnya, teman di masa lalunya…tak lebih. Dia datang ke tempatku, menyerahkan lukisan itu, menyuruhku datang ke sini hari ini. Hanya itu.”
“dia memang tak pernah bisa diduga…”
“anda tahu dimana dia sekarang??”
“dia sudah pergi. Kemarin dia pergi tanpa pamit. Mungkin juga sudah meninggal.”
“maksudnya???” wajah gadis itu pias.
“sejak dulu dia sakit, tiap hari semakin mengurus. Tubuhnya kering. Mungkin tinggal menunggu waktunya…” suara pemandu itu bergetar.
Tercekat. Gadis itu lemas seketika, terduduk di tangga balai kota. Langit sore itu sedang mendung. Burung-burung pun masih bertengger di dahan, malas terbang keluar.
“kau mirip sekali dengan yang di lukisan itu?”
“ya, itu memang aku…”

#

Rumah gadis itu sedikit lebih bagus, meski tetap sederhana dan seadanya. Tanah di sekitarnya sudah menjadi miliknya. Dibangunnya beberapa rumah sederhana pula untuk orang yang senasib dengannya. Gratis. Sekarang dia tidak sendiri, banyak tetangga, banyak anak-anak yang bermain di halamannya. Dia tak pernah kesepian lagi. Uang 5 milyar itu lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Dia ingin membaginya dengan orang lain. Meneruskan pesan tersembunyi dari lelaki itu. Lelaki yang tak pernah mengingkari janjinya.

#

Gadis cilik itu kembali memunguti sampah setelah semingguan cemberut. Marah sana-marah sini. Akhirnya dia bisa melepaskan anak lelaki yang pergi meninggalkannya. Kembali beraktivitas seperti biasa. Tak pernah disadarinya, sepasang mata senantiasa mengikutinya, sampai dia beranjak dewasa. Mata itu tersembunyi di dalam kabut.

#

“kau paling senang melukis apa???’
“apa ya….???ehmm…sebenarnya aku paling suka melukis kamu.”
“kenapa??”
“eee…karena lukisanku terlihat bercahaya, lebih hidup aja kalau melukis kamu.”
“kamu bakal nglukis aku terus kan??? Sampai gedhe nanti??”
“iyaa…”
“berarti kamu ga akan ninggalin aku kan??”
“iya…”
“aku pengen bareng kamu terus…”
“iya…aku juga…”

 TAMAT

PS:cerpen terpanjang yang kubuat, capek ternyata. Menguras energiku, di sela-sela istirahat kantor, di sela-sela bekerja, akhirnya bisa selesai juga. Terima kasih telah membacanya, berarti kalian menikmati peluh keringatku. Btw, asin ga rasa keringatku??? ^_^