DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Senin, 13 Desember 2010

Cincin Keju


Lelaki itu menaiki tangga perlahan. Detak sepatunya hampir tak terdengar. Sangat lirih. Seolah pencuri yang takut tertangkap satpam. Tangga itu mengarah ke lantai dua. Di bawahnya, tampak ruang keluarga yang bergaya minimalis. Hanya ada sofa dan seperangkat tv plus sound system. Di ujung tangga atas, di sisinya tampak vas tinggi berisi bunga yang panjang menjuntai. Entah apalah namanya. Entah asli atau juga replika. Tak begitu memperhatikan, karena bukan itu tujuan lelaki itu naik ke atas.

Sampai di lantai dua. Arah tubuhnya segera berubah kearah sebuah pintu yang tertutup. Sampai di depan pintu, sejenak lelaki itu berhenti. Seperti setengah menimbang-nimbang. Tangannya setengah terangkat, antara ragu akan mengetuk pintu, ataukah langsung memutar pegangan dan mendorongnya masuk. Butuh waktu hampir 2 menit untuk memutuskan, sebelum tangannya akhirnya menyentuh pegangan, memutar dan mendorongnya. Bunyi engsel berderit sejenak mengisi keheningan. Dorongan terhenti. Lalu sejenak kemudian mendorong lagi dengan lebih pelan, seolah bunyi sekecil apapun akan menggagalkan misi kali ini.

Setengah pintu terbuka. Tak lama, seluruh pintu terbuka. Yang terlihat adalah sebuah kamar tidur. Sama dengan ruang keluarga, tetap beraliran minimalis. Cahaya remang bulan tampak sedikit menelisip dari celah-celah jendela. Jendela kaca berukuran kecil itu hanya tertutup sehelai gorden putih tipis. Sementara dari ventilasinya mengalir angin malam, hanya sedikit. Di dekatnya ada sebuah tempat tidur. Tempat teronggok tubuh tak bergerak. Seorang gadis. Masih tampak begitu muda, 20-an.

Lelaki itu berjalan mendekati tempat tidur. Melihat sekeliling mencari sesuatu. Ketemu. Lelaki itu mengarah ke pojokan, mengambil sebuah kursi plastic, mendekatkannya ke sisi tempat tidur. Sepelan mungkin. Gadis itu masih tak bergeming. Tampaknya cara si lelaki mengurangi intensitas suaranya berjalan lancar. Lelaki itu mulai duduk. Tapi diam, tak melakukan apapun lagi. Hanya memandang kearah gadis itu, menyusuri dari bawah, tubuhnya yang tertutup kain putih, perlahan ke atas, ke arah wajahnya yang tampak tenang. Tetapi pucat. Bibirnya tampak kelu.

Rambut panjang gadis itu terberai di samping kepalanya, kusut. Matanya masih terpejam, tak menyadari ada seseorang di sebelahnya. Atau mungkin tak bisa menyadari lagi.

Cukup lama lelaki itu hanya memandang wajah gadis diam itu. Semakin lama wajahnya semakin pias. Pandangannya nampak kosong, hanya terisi siluet wajah sang gadis. Sebentar kemudian, matanya mulai berkaca-kaca. Sangat jarang dia menitikkan air mata, tapi dalam sepi itu, hatinya terasa sedih. Tak mengeluarkan isak, dan gadis itu masih tak bergeming.

Dalam diam, lelaki itu masih duduk di samping sang gadis. Berharap gadis itu dapat bangun, tapi harapannya tak kunjung terkabul. Tangan sang lelaki sudah mulai berkeringat dingin, gelisah. Tak tahan lagi, lelaki itu mengangkat tangannya. Menyentuh ujung jari sang gadis, menyusuri hingga ke telapak, dan menggenggamnya. Tangan gadis itu terasa dingin, hingga menular ke lapisan kulit si lelaki. Kemudian lelaki itu mencoba menghangatkannya dengan kedua tangan, tak ingin tangan gadis itu membeku.

Sedetik kemudian, berubah,,,,

Mata gadis itu mengerjap-ngerjap, bulu matanya tampak mulai berdiri. Dalam genggaman, gadis itu menggerakkan jarinya, membalas genggaman itu dengan lebih erat. Dalam bibir kelunya, seulas senyum tipis menghiasi sudut bibirnya. Lelaki itupun ikut tersenyum, dengan mata tetap berkaca-kaca. Matanya masih tak beralih dari wajah pucat sang gadis.

“Udah lama??” Suara lirih dari mulut sang gadis memecah sepi.

Sambil tersenyum, lelaki itu menjawab,”Belum, yang jelas tak lebih lama dari penantianmu.” Tatapannya masih ke mata gadis itu.

Mendengar itu, sang gadis tersenyum, tampak lebih manis dari sebelumnya. Wajah cantiknya perlahan menutupi wajah pucatnya.

Lelaki itu melepaskan genggamannya. Tangannya merogoh ke saku jaketnya. Sebuah kotak kecil digenggamnya. Dihadapan gadis itu, dibukanya kotak itu, mengambil benda di dalamnya. Sambil tersenyum, tangan kirinya memegang jari gadis itu, dan dengan tangan kanannya memasukkan benda itu ke jari manis sang gadis.

“Maaf butuh waktu lama untuk mengatakan ini. Maaf pula telah membuatmu menanti selama ini. Maaf juga aku ga mengatakan ini dari dulu. Dan maaf, kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi, aku hanya ingin bertanya, maukah kau menikah denganku??

Digenggamnya kembali tangan gadis itu dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. Sekilas, wajah gadis itu tampak terkejut. Urat wajahnya tampak tegang. Dalam hening, perlahan rona wajah gadis itu mencair. Kemudian, masih dalam wajah pucat dan bibir kelu, dia tersenyum. Senyum paling manis yang pernah dia berikan dan tunjukkan pada seseorang.

“Maaf…” ujar gadis itu lirih.

Bagai diguncang gempa dan disambar petir, tertimbun dalam runtuhan bangunan rumah itu, hati si lelaki beku. Tak mampu berkata apa-apa. Nalurinya segera menyuruhnya lari dari tempat itu. Berlari ke lapangan, atau ke tebing, dan berteriak sekeras-kerasnya. Ketika hatinya sedang mempertimbangkan rencana itu, gadis itu melanjutkan ucapannya.

“Maaf, kamu ga bisa nikahin aku sekarang. Maaf kalau aku sekarang membuatmu menunggu. Maaf karena kamu harus bersabar. Tapi saat ini kamu liat sendiri kan kondisiku.” Lanjut sang gadis itu.

Lelaki itu tersenyum, hatinya yang mau meledak seperti ditimpa curahan hujan deras yang mengguyur Jakarta. Hatinya banjir, banjir oleh rasa cinta yang membuncah.

Pelan, lelaki itu menoyol kepala sang gadis,”Dasar, sakit typhus aja manjanya setengah mati. Bikin orang panik aja.” Ledek si lelaki.

“Siapa suruh kamu ninggalin aku sendiri disini. 2 tahun penuh. Tapi kamu khawatirin aku kan, itu tandanya kamu cinta aku kan??” goda sang gadis, masih tersenyum.

“Yah namanya juga sekolah jauh, harus ada yang dikorbanin kan. Ntar setelah sembuh, setelah nikah, kamu ikut aku ya, kita boyong ke Aussie. Sekolahku masih kurang satu tahun lagi. Yah, iseng aja, kamu bisa jalan-jalan di sana…gimana???” Tanya sang lelaki.

Muka sang gadis memerah, dalam senyum, kepalanya mengangguk pelan. Senyum mereka saling berbalas. Genggamannya tak pernah terlepas lagi. Sampai jam-jam berikutnya. Bahkan ketika mereka lelah, dan masing-masing tidur terlelap dalam mimpi masing-masing, genggamannya tak terlepas. Cincin berhias batu lembut itu memancar lembut. Berwarna kuning, atau krem. Laksana keju matang. Cincin keju itu menyaksikan segalanya.

Di tepian pintu yang terbuka itu, mengintip 2 pasang mata, mata yang bersinar. Dengan kompak, mata itu saling memandang. Dan dalam lirih terdengar suara.

“Putri kecil kita sudah menemukan pangerannya. Dia akan segera bangun dari tidurnya, dan menjemput mimpinya. Membangun istananya sendiri, meninggalkan kita di gubuk reyot ini. Kita pasti sedih, tapi sejak dulu kita tahu, suatu saat, semua ini pasti terjadi.”

Kedua mata itu masih bersinar, berkaca-kaca, tersenyum. Dan perlahan menutup pintu tanpa suara.

“Selamat menempuh hidup baru, putriku.”

Hanya detak jam yang menyahut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar