Terkadang aku terkesan dengan
caramu berbicara. Terkadang dengan caramu berinteraksi. Memapahku dengan
tertatih mendekatimu. Menjadi penguntitmu yang bahkan tak berani bertatap muka,
apalagi berpapasan denganmu. Seperti bintang yang bersimbiosis dengan bulan,
aku berteman dengan bayangan. Dengan diriku yang lain.
Aku malu. Tak berani.
Aku tak serupa dengan Ronin, yang
akan bunuh diri jika gagal. Bermain dengan Harakiri. Aku bahkan tak termotivasi
untuk merenggutmu. Selalu cukup mendengar celotehmu membanjiri riak dahagaku. Lantas
jangan kau anggap aku akan memperjuangkanmu. Yang mengeksekusi semudah menekan
tombol Enter, atau malah mencabut kabel power. Aku tak pernah terkoneksi dengan
begitu detail, aku hanya menayangkanmu dalam proyektor yang semakin tua di otak
bebalku.
Siapa yang tahu kau menunggu?
Aku pun tidak. Bahkan imajinasi
fiksi kelas tinggi manusia pun tak mampu mengarang ceritanya. Yang menggebu-gebu
ingin terlepas, terbebas dari sayap-sayap cengkeraman. Yang ada hanya aku yang
kalut, menunggu cerita ini akan berujung dimana?
Dengan siapa?
Yang selalu terlonjak tatkala
dering riang ponsel memanggil, berharap ejaanmu akan memenuhi halamannya. Yang semua
hanya sebatas mimpi tak bertuan. Seperti mimpi mengharap kancil akan berteman
akrab dengan pak tani. Menyelubungi antara cita-cita dan mimpi, yang
definisinya pun bahkan semakin mengabur.
“Mungkin karena kau dianggap
bijaksana?”
Nun jauh disana kata-kata itu
pernah membungaiku. Memberi sensasi terbang, seperti potongan roket yang
melingkar di Saturnus. Mengekangnya, tapi indah dilihat orang lain. Lalu sayangnya,
tak ada yang menikmatinya, karena dia jauh, sekali lagi dia tak di depan kita.
Entah butuh berapa hari, bulan
atau tahun, saat aku menyadari itu retoris, tak butuh komentar atau pengakuan. Itu
hanya propaganda, mencumbui benakku dengan kata-kata “Sungguh?” atau “Ah yang
benar?”. Lalu semua hilang. Selenyap engkau dari sini, dari yang tak pernah
kumiliki.
Ada yang salah kalau aku
berharap?
Kau hanya bersikap seperti burung
murai kecil yang hinggap di hijau daun, tapi tak memakannya. Hanya menemani
riuh angin dan umpatan kasar petani akibat bebalnya dunia, yang tak juga mau
menundukkan wajah padanya. Aku hanya menutupinya dengan senyum palsu, gelak
tawa, dan akting misterius. Seharusnya aku mempertanyakan, kenapa kau tak
penasaran padaku? Apa aktingku kurang bagus? Mungkin. Aku hanya aktor gagal,
sekelas figuran picisan yang sekelebat terlihat lalu tertelan masa. Tak pernah
bias menembus dunia.
Tapi kalau kupikir, salah tak
bisa kulimpahkan semua padamu. Secara hitungan matematisku, kesalahanmu adalah
10%, mimpi 30%, dunia 20% dan aku 40%. Kesalahanmu hanyalah membiarkanku
berharap, yang menjadikanku berival dengan Merapi yang meletup-letupkan lava,
yang tak kunjung meledak. Lalu mimpi menjebakku dalam ruang tidur yang sama
dengan Putri Salju, menunggu pangeran impian untuk membangunkannya. Dia bahagia
selamanya, dan aku membuka mata. Saat itulah yang kulihat hanya kenyataan. Cukup
di situ.
Lalu apa intervensi dunia? Ayolah, mari
berpikir sedikit sarkastik. Siapa lagi yang pantas disalahkan selain aku dan
kamu. Takdir? Dia hanya pijar tak terlihat. Orang lain? Mereka hanya lilin yang
telah padam. Dunia? Bukankah dunia memang kejam. Butuh alasan lagi? Kuharap tidak.
Lalu semua berujung pada satu
kesimpulan. Aku yang salah? Salah mengeja tanda. Salah mendefinisikan rasa. Salah
membangunkan mimpi.
“never mind I’ll find, someone
like you...”
Bisakah aku hidup dengan sebait
kata itu. Berarti, besok pagi, saat bangun tidur, aku mulai membohongi hati
lagi. Dan catat, itu sama dengan satu kesalahan lagi.
= 41%
keren. :)
BalasHapusas usual.