DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Kamis, 10 Mei 2012

41%



Terkadang aku terkesan dengan caramu berbicara. Terkadang dengan caramu berinteraksi. Memapahku dengan tertatih mendekatimu. Menjadi penguntitmu yang bahkan tak berani bertatap muka, apalagi berpapasan denganmu. Seperti bintang yang bersimbiosis dengan bulan, aku berteman dengan bayangan. Dengan diriku yang lain.

Aku malu. Tak berani.

Aku tak serupa dengan Ronin, yang akan bunuh diri jika gagal. Bermain dengan Harakiri. Aku bahkan tak termotivasi untuk merenggutmu. Selalu cukup mendengar celotehmu membanjiri riak dahagaku. Lantas jangan kau anggap aku akan memperjuangkanmu. Yang mengeksekusi semudah menekan tombol Enter, atau malah mencabut kabel power. Aku tak pernah terkoneksi dengan begitu detail, aku hanya menayangkanmu dalam proyektor yang semakin tua di otak bebalku.

Siapa yang tahu kau menunggu?

Aku pun tidak. Bahkan imajinasi fiksi kelas tinggi manusia pun tak mampu mengarang ceritanya. Yang menggebu-gebu ingin terlepas, terbebas dari sayap-sayap cengkeraman. Yang ada hanya aku yang kalut, menunggu cerita ini akan berujung dimana?

Dengan siapa?

Yang selalu terlonjak tatkala dering riang ponsel memanggil, berharap ejaanmu akan memenuhi halamannya. Yang semua hanya sebatas mimpi tak bertuan. Seperti mimpi mengharap kancil akan berteman akrab dengan pak tani. Menyelubungi antara cita-cita dan mimpi, yang definisinya pun bahkan semakin mengabur.

“Mungkin karena kau dianggap bijaksana?”

Nun jauh disana kata-kata itu pernah membungaiku. Memberi sensasi terbang, seperti potongan roket yang melingkar di Saturnus. Mengekangnya, tapi indah dilihat orang lain. Lalu sayangnya, tak ada yang menikmatinya, karena dia jauh, sekali lagi dia tak di depan kita.

Entah butuh berapa hari, bulan atau tahun, saat aku menyadari itu retoris, tak butuh komentar atau pengakuan. Itu hanya propaganda, mencumbui benakku dengan kata-kata “Sungguh?” atau “Ah yang benar?”. Lalu semua hilang. Selenyap engkau dari sini, dari yang tak pernah kumiliki.

Ada yang salah kalau aku berharap?

Kau hanya bersikap seperti burung murai kecil yang hinggap di hijau daun, tapi tak memakannya. Hanya menemani riuh angin dan umpatan kasar petani akibat bebalnya dunia, yang tak juga mau menundukkan wajah padanya. Aku hanya menutupinya dengan senyum palsu, gelak tawa, dan akting misterius. Seharusnya aku mempertanyakan, kenapa kau tak penasaran padaku? Apa aktingku kurang bagus? Mungkin. Aku hanya aktor gagal, sekelas figuran picisan yang sekelebat terlihat lalu tertelan masa. Tak pernah bias menembus dunia.

Tapi kalau kupikir, salah tak bisa kulimpahkan semua padamu. Secara hitungan matematisku, kesalahanmu adalah 10%, mimpi 30%, dunia 20% dan aku 40%. Kesalahanmu hanyalah membiarkanku berharap, yang menjadikanku berival dengan Merapi yang meletup-letupkan lava, yang tak kunjung meledak. Lalu mimpi menjebakku dalam ruang tidur yang sama dengan Putri Salju, menunggu pangeran impian untuk membangunkannya. Dia bahagia selamanya, dan aku membuka mata. Saat itulah yang kulihat hanya kenyataan. Cukup di situ.

 Lalu apa intervensi dunia? Ayolah, mari berpikir sedikit sarkastik. Siapa lagi yang pantas disalahkan selain aku dan kamu. Takdir? Dia hanya pijar tak terlihat. Orang lain? Mereka hanya lilin yang telah padam. Dunia? Bukankah dunia memang kejam. Butuh alasan lagi? Kuharap tidak.

Lalu semua berujung pada satu kesimpulan. Aku yang salah? Salah mengeja tanda. Salah mendefinisikan rasa. Salah membangunkan mimpi.

“never mind I’ll find, someone like you...”

Bisakah aku hidup dengan sebait kata itu. Berarti, besok pagi, saat bangun tidur, aku mulai membohongi hati lagi. Dan catat, itu sama dengan satu kesalahan lagi.

= 41%

1 komentar: