Nenek Arma namanya, 57 tahun, sedang
memandangi selembar foto kusam. Foto berisi 3 perempuan, dengan ciri senyum
yang berbeda. Masing-masing menggambarkan perasaan yang berlainan, tapi saling
terpaut dalam lembaran foto itu. Entah sejak kapan foto itu diambil, Nenek Arma
tak lagi ingat. Usia telah menggerogoti memorinya sedemikian rupa, menyisakan
sedikit celah hanya untuk mengingat namanya sendiri, serta umurnya.
***
“Arma..ayo cepat dikumpulkan, waktu
sudah habis!” dari arah depan bu guru berteriak. Sementara anak-anak yang lain
telah menyetorkan kembali lembar ujian pada bu guru, lantas berbalik menuju
meja masing-masing. Berbagai ekspresi tergambar di sana, beberapa lega,
beberapa tersenyum, tapi lebih banyak yang mengeluh. Belum puas dengan
kinerjanya sendiri.
“Arma!!” teriak bu guru lagi. Arma hanya
mendongak sekilas, tersenyum kecut. Sebentar lagi ya bu, batin Arma. Kembali
menulis.
“kalau ada yang belum mengumpulkan
sekarang, ujiannya tidak ibu nilai. Selamat siang!” bu guru merapikan mejanya,
mulai beranjak meninggalkan ruang kelas.
“Sebentar buuu...!” Arma berteriak
sekencang mungkin, tergopoh-gopoh berlari menghampiri bu Guru yang baru sampai
di ujung daun pintu. “Hehe..ini Bu!” Arma menyodorkan lembar ujiannya, sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bu guru hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya, sudah biasa, Arma selalu terakhir menyetorkan lembar ujian. Entah
apa yang dilakukannya sebelumnya. Tapi paling tidak, Arma selalu mendapat nilai
bagus. Jadi Bu guru masih bisa menolerir sikap Arma.
Bu guru beranjak keluar. “makasih Bu...”
ucap Arma, sambil melambaikan tangan. Arma menghembuskan nafas lega, kembali ke
mejanya. Diliriknya benda di bawah meja, sebuah novel. Bahkan saat ujianpun
disempatkannya membaca, nanggung, sampai kelupaan kalau ada beberapa soal ujian
yang belum dikerjakannya. Bel pulang berbunyi, suara langkah-langkah sepatu
berhamburan menggema di seluruh koridor sekolah. Arma pun beranjak pulang.
***
Nek Inah melangkah keluar rumah, sambil
membawa amplop yang satu jam lalu baru saja diterimanya dari pak pos. Matahari
bersinar cukup terik, namun sepertinya kalah terang dengan senyum riang Nek
Inah, matanya pun nampak berbinar-binar. Ada sesuatu yang membuatnya gembira
hari ini.
Setelah mengunci pagar, Nek Inah
berjalan ke arah perempatan, dimana di sana banyak becak yang mangkal.
Sebenarnya kalaupun pergi dengan berjalan kakipun tak begitu jauh, tapi tenaga
Nek Inah sudah berkurang drastis. Usia telah mengurangi kegesitan dan kekuatan
kakinya, belum lagi sakit encok yang menggerogotinya. Menyesal juga sebenarnya
dulu saat muda tak banyak melakukan olahraga.
“pergi kemana nih Nek? Ke sekolah
seperti biasa?” Sapa pak Kusno, tukang becak langganan Nek Inah. Nek Inah
tersenyum, pelan-pelan naik dan duduk di becak Pak Kusno.
“Iya Kus, biasa, mau jemput si Arma. Ayo
jalan Kus!”
Pak Kusno mengayuh becaknya pelan.
Menyusuri jalan raya yang masih rimbun dengan pohon sebagai pagar hijau. Di
kota kecil ini becak masih diperbolehkan, meski sekarang tinggal sedikit. Perlahan-lahan
mulai tergantikan dengan angkot.
“Kok agak telat Nek berangkatnya?
Biasanya jam segini kan udah dapet separuh jalan.” Pak Kusno memulai obrolan.
“Iya Kus, baru dapat kabar baik ini,
jadi tadi kebanyakan bengong.”
“Kabar baik apa Nek? Wah sepertinya
sesuatu yang besar nih..”
“Besar apanya? Hehe..kabarnya cuma
sebesar amplop ini.” Nek Inah menunjukkan amplop coklat besar yang dipegangnya.
Pak Kusno melongo.
“Memang apa isinya Nek?” Pak Kusno ingin
tahu.
“Isinya sesuatu yang hebat. Ini rahasia.
Ini buat si Arma nanti.” Jawab Nek Inah misterius. Pak Kusno hanya menelan
ludah tanda kecewa, sedang Nek Inah tersenyum penuh kemenangan.
“Eh Kus, nanti habis jemput Arma, kita
ke warung soto Pak Dimin ya. nanti kamu ikut makan juga, aku bayarin.” Nek Inah
melanjutkan. Pak Kusno tersenyum girang.
“Serius Nek? Wah tentu mau banget Nek.”
Pak Kusno sudah melupakan kekecewaannya yang tadi. Bayangan nikmatnya soto Pak
Dimin di samping terminal sudah menggoda lidahnya, membuat pak Kusno menelan
ludah berkali-kali.
“Kalau begitu kayuhnya yang cepat, biar
cepat nyampek sekolah Arma.” Nek Inah menyemangati. Pak Kusno pun segera
mengayuh becaknya sekuat tenaga, dipikirannya hanya ada gambar Soto Pak Dimin.
***
Dina baru keluar dari toko baju, di
tangannya menggenggam 2 tas kertas berisi baju yang baru dibelinya. Wajahnya
tersenyum, tapi masih merasa kurang puas. Kurang apa lagi ya, pikir Dina.
Disusuri trotoar sambil lirik kiri-kanan. Mencari sesuatu. Akhirnya, tepat
sebelum lampu merah sana, terlihat papan nama yang menarik, Toko Kue Shinta.
Dina tersenyum, bergegas ke toko itu.
Dari etalase tersaji beragam jenis kue
yang sungguh menggugah selera. Itu belum seberapa, harum kue yang baru keluar
oven langsung menyeruak memenuhi indera penciuman Dina. Tepat sekali, inilah
yang kurang, batin Dina. Dina masuk ke toko disambut senyuman ramah khas
penjaga toko.
“Silahkan mbak, mau beli kue apa? Atau
mau lihat-lihat dulu?” terhampar di depan Dina potongan kue berbagai ukuran, dihiasi
toping beraneka ragam.
“Kalau kue untuk ulang tahun ada nggak
ya mbak? Enaknya yang mana ya?” Tanya Dina kebingungan. Semua kue di sana
tampak menarik dan enak-enak.
“Oh gimana kalau yang ini mbak?” Penjaga
toko menunjuk pada salah satu kue berukuran kecil, dengan lelehan cokelat cair,
dihiasi potongan buah cherry merah tua. “Ada juga yang rasa keju kalau mau
mbak.” Dina tersenyum.
Tak berapa lama kemudian Dina keluar
dari toko kue itu. Ini baru sempurna, teriak Dina dalam hati. Dengan senyum
riang, perempuan setengah baya itu berjalan di pinggir jalan raya, sampai tak
disadarinya, sesuatu telah membuatnya limbung. Diantara sadar dan tidak, dia
hanya melihat sebuah helm melayang melewatinya, lalu semuanya berubah gelap.
***
Arma celinguk kiri-kanan, melihat jam,
lalu ganti melirik matahari yang bersinar panas-panasnya. Hari ini seperti
biasa, nenek akan menjemputnya. Setiap jumat, memang itu kebiasaan nenek Inah,
menjemput Arma lalu mengajaknya jalan-jalan. Dan Arma sangat menyukainya. Jalan
bersama Nenek Inah selalu menyenangkan, kadang ke pasar tradisional, main
becek-becekan dan beli jajanan pasar bermacam-macam. Kadang diajak ke toko kue
teman nenek, dan di sana bisa makan kue gratis banyak pula, dan masih banyak
hal seru lainnya. Karena itu, kali ini Arma tak sabar menunggu kedatangan Nenek
Inah di tepi gerbang sekolah.
“Arma, masih nunggu Nek Inah?” Tanya
Winda, tetangganya sekaligus teman sekelasnya. Winda menghentikan sepedanya di
depan Arma.
“Iya, kamu udah mau pulang? Bukannya
tadi dipanggil Bu Esti?” Arma balik nanya.
“Udah selesai kok, cuma masalah tugas
aja. Ya udah, aku pulang duluan ya ..dagh!”
“Dagh..” Winda melesat pergi. Arma pun
melanjutkan celinguk kiri-kanan, berharap Nek Inah segera datang.
Harapannya pun terkabul. Seperti biasa,
Nek Inah ditemani dengan Pak Kusno mulai nampak di ujung jalan. Arma tersenyum
senang. Lalu dirasakannya hapenya bergetar.
“Halo..Mama?” Arma mengangkat hapenya.
“Ah halo..maaf..maaf..ini ..saya
cu..cuma mau ngasih tau, yang punya nomer hp ini kecelakaan, sekarang mau
dibawa ke RS Muhammadiyah, kalau bisa langsung ke sini aja..” Suara di seberang
tampak panik dan terburu-buru.
Arma mengernyitkan kening, setengah
belum percaya,”Maaf ya pak, tolong jangan bercanda. Mana mama saya?” Ucap Arma
tegas.
“Sungguh dek ini ga main-main. Saya
hanya menghubungi nomer yang paling atas di daftar, saya bahkan nggak tahu yang
saya hubungi ini siapa.” Suara di seberang terdengar sangat berisik,” Ini saya
masih di lokasi, di perempatan Tendean, kalau nggak percaya kesini saja dek,
tapi korban ini mau dibawa ke RS segera, sepertinya parah.” Suara bertambah
ramai. “saya juga ikut ke RS dek, nama saya Sinom. Saya tutup dulu ya dek.”
Klik. Putus.
Arma terbengong. Tepat bersamaan dengan
datangnya Nek Inah dengan Pak Kusno.
“Ayo buruan Arma, nenek ada kejutan
siang ini.” Nek Inah tersenyum, membayangkan betapa senangnya hati Arma dengan
kejutan yang diberikan. Arma masih terdiam.
“Arma??” Panggil Nek Inah sekali lagi.
Arma tersadar.
“Ah Nek...ehm..barusan Arma dapet telpon
dari hp mama, tapi bukan mama yang telpon, seorang lelaki. Dia bilang mama
kecelakaan. Sekarang dibawa ke RS Muhammadiyah.” Kata Arma datar, masih belum
100% konsentrasi.
Nek Inah tanpa bertanya langsung menarik
tangan Arma, naik becak Pak Kusno. “Kus, cari angkot sekarang!”
***
“Coba telpon mama!” Perintah Nek Inah
begitu turun dari angkot, tepat di RS Muhammadiyah. Arma langsung melakukannya.
Tak lama kemudian Arma memberitahu Nek Inah,”Masih di UGD Nek.”
Mereka pun berlari menyusuri koridor RS,
banyak sekali orang yang lalu lalang. Setelah sampai di depan UGD, mereka
melihat 2 orang lelaki sedang duduk di kursi tunggu, baju mereka sebagian
bernoda merah darah.
“Pak Sinom??” Ucap Nek Inah ragu-ragu.
Salah seorang lelaki itu berdiri, tersenyum kecut. “Iya saya.”
Lalu berceritalah Pak Sinom tentang
kronologis kejadiannya, saat Dina ditabrak, kemudian pelaku melarikan diri.
Beberapa orang di sana tak sanggup mengejar pelaku yang langsung tancap gas.
Kebetulan, toko Pak Sinom berada di dekat situ, sekaligus ada mobil yang
digunakan untuk mengangkut barang. Akhirnya Pak Sinom dengan karyawannya
mengantar Mama Dina ke RS terdekat, RS Muhammadiyah ini.
Yang ada kini hanya air mata. Arma tersedu
sedan tak habis-habis. Nek Inah, mengucapkan terima kasih atas bantuan Pak
Sinom, yang segera setelah itu pulang karena masih ada urusan. Nek Inah tak
menangis, hanya saja matanya berkaca-kaca. Pengalaman hidup telah menjadikannya
kuat, menenangkan Arma yang sangat terpukul. Sementara di sebelah Nek Inah,
tergeletak sisa-sisa barang Mama Dina yang dibawa Pak Sinom dari lokasi tabrakan.
***
Arma memandangi mamanya yang belum juga
siuman, meski tadi kata dokter masa kritis mama sudah lewat. Tinggal menunggu
sampai pengaruh obat biusnya menghilang. Wajah mama tampak kusut, lelah. Tapi
bagi Arma, wajah itu mendamaikan. Arma teramat menyayangi mamanya. Mamanya
bagai seorang pahlawan. Arma tak pernah lupa jasa-jasa mamanya.
Sejak papanya meninggal dalam usia yang
terbilang muda, mama beralih menjadi kepala keluarga. Tonggak penghidupan
keluarga, mencari pekerjaan apa saja asal bisa terus membiayai Arma. Akhirnya
mama mendapat pekerjaan, justru kebetulan di dekat rumah nenek, yaitu Nek Inah.
Mereka pindah ke rumah Nek Inah, sedang rumah yang lama dijual. Sejak itu mama
bekerja keras tak kenal lelah. Meski begitu, mama tetap begitu perhatian pada
Arma, sering menemai Arma main, belajar, curhat, meski saat itu mama sedang
lelah karena beban kerja. Arma selalu ingat senyum mama sebelum berangkat
kerja, kecupan hangatnya di kening Arma, sambil tak lupa sudah menyiapkan
sarapan di meja.
Karena itu, meski papanya sudah tak ada,
Arma tak pernah merasa kesepian. Mama telah berhasil merangkap menjadi mama
sekaligus papa, bahkan juga teman. Mama yang telah mengajarkannya banyak hal,
mama yang selalu kuat, mama yang selalu tersenyum bahagia.
Pelan Arma mencium kening mamanya dengan
penuh cinta, penuh kasih sayang, penuh pengabdian. Jika ditanya siapa yang
paling berjasa dalam hidupnya, Arma akan tersenyum, dan tanpa ragu mengucap
nama mamanya.
***
Mama Dina telah siuman, yang disambut
dengan pelukan hangat dari Arma dan lelehan air mata Nek Inah.
***
Nek Inah memberikan amplop yang
diterimanya beberapa hari yang lalu, yang rencananya akan menjadi kejutan untuk
Arma, sebelum insiden kecelakaan menghancurkan rencananya. Di hadapan Dina dan
Nek Inah, Arma membuka amplop itu. Surat pemberian beasiswa. Beasiswa dari
sebuah perguruan tinggi negeri. Arma bersorak keras, lupa kalau saat itu mereka
sedang berada di rumah sakit. Mama Dina hanya tersenyum bahagia, belum bisa
banyak bergerak, sedang Nek Inah sudah tak sanggup membendung air mata bahagia.
Mama Dina melebarkan tangannya, Arma langsung menghambur memeluk mamanya dengan
demikian erat.
“Udah..udah..akhirnya kamu berhasil
dapat beasiswa itu. Mama ikut senang Ar...” Ucap Mama Dina lirih, matanya
tampak berkaca-kaca. Arma hanya diam, memeluk lebih erat mamanya sekali lagi.
***
“Bu...selamat ulang tahun ya...” Ucap
Mama Dina di hadapan Nek Inah yang sedang giliran jaga. Nek Inah yang duduk di
sampingnya memandang lekat putrinya, mengelus lembut tangan Mama Dina.
“Eh iya...Ibu sampai lupa, sudah tambah
tua ya..” Ujar Nek Inah tersenyum.
Mama Dina menggenggam erat jemari Nek
Inah, yang terasa semakin keriput,”Sebenarnya kemarin aku udah beli kue, tapi
ternyata musibah mendahuluiku..” Mama Dina diam sejenak,” semoga Ibu panjang
umur ya. Maaf kalau selama ini Dina udah banyak nyusahin Ibu, bikin Ibu repot,
maafin Dina ya Bu..” Mama Dina terisak, tak kuasa menahan air matanya. Nek Inah
pun sama, air matanya mengalir begitu saja. Nek Inah mengelus kening putrinya,
menciumnya penuh kasih sayang.
“Sudah, yang penting kamu cepet sembuh
dulu, kasihan tu si Arma...” Nek Inah diam sejenak,” ngomong-ngomong Arma
kemana ya? dari tadi ga kelihatan?” Tanya Nek Inah. Bersamaan dengan itu pintu
kamar terbuka. Arma masuk dengan membawa kue ulang tahun, dan menyanyikan
lagunya dengan keras.
“Sebagai ganti kue yang dulu hancur dilindas
motor Bu...semoga panjang umur ya.” Ujar Mama Dina.
“Selamat ulang tahun nenek!!!” teriak
Arma yang langsung memeluk neneknya dengat erat. Acara makan kue pun
berlangsung singkat, karena kuenya hanya dimakan Arma, sedang Mama Dina belum
boleh makan, dan Nek Arma tak suka manis-manis. Dan diakhiri dengan sesi foto
bersama, penuh senyum, penuh cinta, penuh kebahagiaan dari wajah tiga perempuan
itu.
***
Nenek Arma menyimpan kembali memorinya
yang tergambar di selembar foto itu. Ibu dan neneknya telah lama meninggal.
Nenek Arma pun tak ingat kapan pastinya mereka meninggal. Tapi yang tak pernah
dilupakannya adalah jasa-jasa mereka, serta senyum kebahagiaan yang selalu
mereka berikan, yang sekarang juga ditularkannya pada anak dan juga cucunya.
Dibuat dalam rangka memperingati Hari Kartini
BalasHapusDisertakan dalam Antologi Mencatat Perempuan