DADU

DADU
Rasakan, engkau punya banyak pilihan....

Selasa, 08 Februari 2011

Malam itu....

Hujan turun teramat deras. Aku tahu, mungkin malam ini terakhir kali aku melihat rona wajahnya. Hanya sekarang, tak ada lain kali. Petir sesekali menyambar, sedikit menerangi jalanan yang redup. Jangan kau berharap pada tiang lampu jalanan, entah sudah berapa bulan tak lagi bercahaya, tak digubris pula sama pak RT. Dalam kilauan pantulan petir, dapat kulihat wajahnya. Wajah itu, yang aku yakin akan sulit kulupakan. Angin bergetar hebat, tahu saja perasaanku malam ini. Dia ikut mengamuk, toleransi padaku. Menerbangkan buih-buih daun kering, yang sekarang kuyup oleh air hujan, tak berdaya.
Sejenak tadi aku berteriak memanggil namanya. Dia menoleh, tak berucap kata. Kami sekarang berhadapan. Layaknya patung hiasan tugu pinggir gerbang. Dinginnya air hujan jelas terasa menusuk tubuhku, tapi apalah daya, otakku sudah tak terfokus memikirkan kulitku yang membeku dan mati rasa. Aku tahu, dia menanti kata-kata dariku. Tapi tak tahu kenapa, lidahku kelu. Serupa itu pula kakiku. Aku bahkan tak berdaya untuk mendekat padanya. Aku tak mengerti.
“aku mencintaimu!!!” teriakku sekencang-kencangnya, berbarengan dengan suara gemuruh murka langit yang menurunkan berkah.
Nafasku tersengal, tak kusangka, sepotong kata itu menguras energy yang begitu banyak, mencuri oksigen yang begitu besar. Kuusap mukaku yang penuh air. Kulihat dia hanya terdiam. Ekspresinya datar. Entahlah.
“aku tahu aku tak sehebat dia. Akupun sadar aku tak sesabar dan sebijak dia. Aku tahu aku tak kan mampu sedikitpun melampaui dia.” Aku tersengal.
“dia memang lebih bisa diandalkan, lebih pintar dan cerdas. Bicaranya berbobot, bermakna. Dia pemimpin yang hebat. Bisa mengajakmu dan membimbingmu menjadi lebih baik.” Aku terbatuk.
“aku juga tahu dia lebih popular. Temannya teramat banyak, jangan bandingkan denganku yang kuper. Dia disukai semua orang, semuanya. Semua pasti akan membela dan menolongnya kalau ada apa-apa.” Nafasku memburu.
“aku tahu dia menjanjikan masa depan yang lebih indah untukmu. Memberimu yang kau butuhkan. Dia juga orang yang menyenangkan jika dipandang. Disegani orang. Dia hebat.” Aku tersedak.
“dan aku tahu, dia sempurna untukmu.” Aku tertunduk.
Sekejap tadi, kata-kata yang kuucapkan sendiri bergemuruh, berpilin, memintal sempurna, dan mutlak menghujam hatiku. Kata-kata itu menusukku bagai ribuan sembilu, lebih menyakitkan daripada melihat wajahnya saat ini. Wajah yang sejak sepuluh detik tadi berubah pilu, berubah pias. Aku tahu, di balik rintik hujan ini, dia menangis.
“aku tahu dia sempurna untukmu.” Mataku basah. “tapi, apa tak ada kesempatan lagi untukku, sebelum kau memilihnya? Apa benar-benar sudah sirna?”
“maaf….”
Petir menggelegar. Setahun ini, baru satu patah kata itu yang kudengar darinya. Satu kata yang langsung meluluhkan benteng hatiku, yang berumur tahunan ini. Tak merasa perlu untuk tahu reaksiku, dia sudah berbalik, berjalan menjauh. Meninggalkan aku yang berdiri rapuh, diserang hujan yang semakin ganas dan angin yang semakin kuat. Aku jatuh terduduk. Bukan, bukan karena hujan dan angin, tapi karena uratku terasa sudah putus, tercerabut begitu saja dari akarnya.
Aku merasa akan hancur selamanya. Aku merasa wajahnya akan menghantuiku bertahun-tahun lagi.

#

Aku menatap keramaian ini. Aku kenal mereka. Ayah ibu, kakak, saudara, tetangga, teman sekolah, teman main, Pak RT, Pak RW, Pak Kasun, guru-guru. Oh banyak sekali, aku ingat sekali wajah mereka. Semua tersenyum, sedikit banyak tertawa. Oh aku juga, aku juga tersenyum. Lempar sana-lempar sini. Suasana di sini begitu hangat, menyenangkan. Ah ya, hatiku pun terasa bergembira. Apa pula ini.
Aku duduk dikelilingi banyak orang. Wajah-wajah yang akrab bagiku. Tidak, ada beberapa yang tak kukenal. Orang di depanku, asing.
“siap nak?” Tanya orang asing di depanku.
“ah maaf?” aku tak mengerti, kesadaranku hilang.
Lihat, orang itu malah tersenyum. “ok, 5 menit lagi ya..”
Kenapa?  Apa maksudnya ini? 5 menit lagi? Ada apa?
Aku memejamkan mata. Memfokuskan pikiranku, menerka, mengumpulkan semua informasi, menyusun sketsa yang kuingat, mencari secuil jawaban.
Lalu pemahaman itu datang.
“saya siap!” 3 menit kemudian. Aku tersenyum.
“baiklah, tirukan kata-kata saya…”
Tak lama, 2 menit kemudian buncahlah ruangan ini. Kegembiraan, senyuman, gelak. Oh indahnya dunia hari ini. Tak sadar, aku meneteskan sebutir air mata. Aku menengok ke atas, lantai 2. Melihatnya. Dia tersenyum amat manis, menangis haru.
Aku ingat semuanya.

#

Malam itu, malam aku terduduk pias kedinginan di pinggir jalan, dia menemukanku. Menawariku payung. Mengajakku untuk menghangatkan diri sejenak di rumahnya. Memberiku secangkir coklat panas. Mengakrabkanku dengan ayah ibunya. Keluarga yang menyenangkan. Aku tak tahu kenapa tadi aku menurut saja ketika diajaknya. Aku tak tahu, takdir mulai bermain di sini. Takdir langit yang indah.
Malam kedua aku bertamu ke rumahnya, dia bercerita banyak tentang dirinya, ayah ibunya bercerita tentang keluarga mereka. Aku seperti mengenal mereka bertahun-tahun.
Malam ketiga aku bertamu ke rumahnya, aku sadar, aku jatuh cinta padanya. Hatiku pulih dengan cepat, terlalu cepat malah.
Malam keempat aku bertamu ke rumahnya, aku melamarnya. Aku hanya berbicara pada orang tuanya, tak tahulah bagaimana wajahnya saat itu.
Malam kelima aku bertamu ke rumahnya, aku mendengar jawabannya, setuju.
Malam keenam aku bertamu kerumahnya, aku menyusun jadwal, undangan, segala persiapan.
Dan sore ini, menjelang malam ini, dia sah menjadi istriku.
Kau tahu, dia mengobati hatiku dengan cepat, terlalu cepat malah.

5 komentar:

  1. sepanas barra...bener-bener panaaas...

    BalasHapus
  2. paling atas@ itu ane sendiri yang komen...hahaha

    Nomer 2@ nah ini siapakah??terima kasih sudah membaca...#terharu

    BalasHapus
  3. kl yg atas antum ndiri berarti yg kedua pasti sohib antum.

    BalasHapus
  4. hahaha...okelah

    terusin baca ya, kasih tahu kalo ada masukan

    biar bisa upgrade kemampuan..hehe

    thanks

    BalasHapus