Senja kali
ini masih sama. Masih serupa dengan sembilan belas hari kemarin, dua bulan yang
lalu, delapan tahun sebelumnya. Masih dengan riuh senjanya yang sepi. Membawa butir-butir
warna jingga, mengecap ke relung hati. Masih ditemani dengan kicauan burung
yang serupa. Memanggil-manggil senada melodi jiwa yang mengalun lirih. Mengucapkan
beribu rindu yang tak menjadi lisan, menertawakan kebodohannya.
Kalau aku
ingat, masih di tempat ini, di senja ini, aku duduk menunggumu. Ditemani sembilu
janji yang melarikan diri, patah-patah menepati.
“kau tahu
kenapa aku suka di sini?” tanyamu tepat bersamaan dengan senyummu yang merekah.
Membiarkan otakku memotret sunggingan itu. Membawanya dalam hening malam menuju
peraduan, mengulangnya sekali lagi melalui alur mimpi. Membiaskan rona pipi
berbalut senja jingga, memantulkan berjuta asa yang tak pernah mampu keluar,
walau hanya sekejap menjejak bumi. Lalu di saat bersamaan, buih-buih rumput
teki terbang senada dengan helaan angin dan riak air. Mengalir membasahi
ujung-ujung rambutmu yang menebar wangi melati. Ah bukan, mungkin mawar. Mungkin
seroja. Mungkin bunga cinta.
Engkau berdiri
memandang ujung dunia. Memunggungiku, yang semakin lama kurasa semakin menjauh.
Merasakan kibasan halus rambutmu, memantulkan cahaya jingga tepat di wajahku. “kau
sempurna sekali.” Batinku, selepas melihatmu dari sudut manapun. Menikmati setiap
detailmu, bahkan sebelum kau menyadari adanya aku.
“aku akan
pergi.” Ucapmu ringan. Seringan kapas yang gugur bersama gravitasi, ditemani
hembusan udara yang bergelombang. Engkau memandangku dengan tatapan memelas,
seolah memaksa aku untuk tak merelakanmu. Memandangku tepat di ujung pupil yang
berhiaskan pelangi, yang meninggalkan noda-noda mendung, yang mungkin sebentar
lagi mengembun. Aku menyentuh lekat ujung kukumu dengan kukuku, membiarkan
ujung jemarimu dengan jemariku. Kulitmu begitu hangat, sedang diriku terasa
membeku. Aku menegakkan kepala, menatap datar padamu, dan merasa hujan telah
turun. Menodai rona pipimu, mengalir sesuai alurnya. Aku masih menyentuh ujung
jemarimu, dan kau kini meminjam punggungku, membuatku terpejam tak berdaya.
Hari-hari
selanjutnya, masih di senja yang sama, potongan mozaik-mozaik kertas bertaburan
di pelukku. Menebarkan berjuta aksara yang tak pernah habis. Menyampaikan ceritamu
hanya sebatas wacana, meniadakan suara dan gemulai raga. Kupandangi ujung
dunia, mencoba merasakan apakah sama punyamu dan punyaku. Kita tak pernah
saling berbagi, selalu menganggap kita telah mengerti satu sama lain. Menyempitkan
persepsi dunia hanya sebatas logikaku dan perasaanmu.
“Kau masih
menungguku?” suara itu begitu lirih, terucap melintasi samudera dan gugusan
pulau. Aku masih menunggumu, teriakku begitu keras. Sekeras deburan ombak
menghantam karang, terbang bersama burung-burung manyar melintas benua. Mengenang
dengan jelas, saat dimana kelingking kita menari, saling mengikat dan
menyimpul, menihtakan janji laksana palapa. Dimana itu terakhir kalinya jemari
kita saling menyentuh, ujung kuku kita saling beradu.
Senja ini
masih sama, dengan aroma melatinya, ah bukan, aroma mawarnya, ah salah, aroma
seroja, ah mungkin aroma cinta. Masih dengan guratan jingga, memantul sempurna
ke retina. Masih dengan ujung dunia yang sama, tak terlihat. Yang berbeda, kini
aku di sini tak sendiri, tak lagi ditemani rumput teki, helaan angin, atau riak
air. Aku kini bersama dengan bidadari-bidadari bersuara mungil, yang sedang
berlarian, berkejaran, tertawa. Membawa ingatanku bertualang bersama. Lalu tangan
lembut itu menyentuh ujung punggungku, membelaiku dengan nada yang memabukkan,
memberi nyaman, melelapkanku. “kau baik-baik saja kan?” ujung jemarinya
menguatkanku, ujung kukunya meneguhkanku, serupa dengan dirimu dulu.
Dia lalu
memanggil bidadari-bidadari, menjadikan malaikat-malaikat kecil mengelilingiku,
berdiri di sampingku. Lalu jemari kami saling bertautan, saat bersamaan dengan
embun tipis menembus ujung bulu mataku. Jatuh bersama jingganya senja, diiringi
aroma seroja, menunduk lemah, menatap pusaramu. Janji itu tak pernah lekang,
tapi sayangnya, hidup terus berjalan. Relakan dia menggantikanmu, biarkan janji
kita ikut terkubur bersama ragamu.