Aku baru mengenal lelaki separuh
baya itu seminggu, dan ajaibnya, aku langsung menyukainya. Dia tetanggaku,
persis sebelah rumahku. Aku baru membeli rumah dan menempatinya seminggu ini.
belum banyak yang kukenal di lingkungan baru ini, salah satunya tetanggaku ini.
Pak Dedi namanya. Umurnya sekitar
40-an lebih. Badannya kekar, tapi berwajah lembut menyejukkan. Murah senyum
lagi. Kami bertemu pada suatu sore, setelah beres-beres pindah rumah, Pak Dedi
sedang menyiram bunga di halaman depan.
“Sore pak, wah tanamannya subur
sekali pak” ujarku basa-basi
“wah iya nih lumayan..” Pak Dedi
mengangkat wajahnya, tersenyum.
“sayang belum berbunga pak. Oh ya,
kenalkan pak, saya tetangga baru bapak, baru aja pindahan ini. Anton pak nama
saya.” Kuulurkan tangan menjabat pak Dedi.
“ohya...saya Dedi. Sama siapa nih
tinggal di rumah baru? Sudah berkeluarga?” tanya pak Dedi.
Aku hanya tersenyum,”Ah pak,
belum dapet jodohnya, masih single aja pak. Kalo bapak?”
“saya sama istri, sudah 20 tahun
tapi belum diberi momongan.” Wajahnya menyiratkan mendung sekilas. “kebetulan
istri saya sedang ke pasar sore nih, biasa ibu-ibu, suka lama kalo di pasar”
pak Dedi terkekeh, menutupi mendung yang tadi terlihat di wajahnya.
Sore itu kami mengobrol untuk
mengenal lebih dekat, karena sebagai tetangga tentunya kami akan saling
merepotkan nantinya, saling membantu satu sama lain, sehingga keakraban itu
sangat diperlukan.
###
Sepulang kantor, aku menyempatkan
membeli martabak dua bungkus, satunya nanti ingin kuberikan pada pak Dedi. Maklum,
selama seminggu aku bekerja, dari pagi sampek pulang malam, pak Dedi sukarela membersihkan
halaman rumahku.
Aku tak tahu pak Dedi sebenarnya
bekerja apa, beliau mengaku bekerja sebagai karyawan swasta, di salah satu
kantor tak jauh dari perumahan kami. Tapi karena aku berangkat lebih pagi dan
pulang larut malam, aku tak pernah menjumpai pak Dedi berangkat ataupun pulang
kerja. Kami hanya mengobrol saat akhir pekan tiba, di halaman rumah, sore hari
saat menyiram tanaman hias.
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam,
sudah cukup larut, tapi lampu di rumah pak Dedi masih menyala terang. Sejenak aku
ragu, pak Dedi sudah tidur atau belum, mengingat usia pak Dedi yang tak lagi
muda, seharusnya jam segini sudah istirahat. Tapi percuma donk aku beli
martabak dua kalau akhirnya harus kumakan sendiri, akhirnya kuketok pintu rumah
pak Dedi.
“eh nak Anton, ada apa nih
malam-malam, ada yang bisa dibantu?”
“ah maaf pak mengganggu, nggak
kok pak, ini kebetulan tadi beli martabak berlebih, daripada ga ada yang makan”
“wah ngrepotin aja nih, makasih
ya. ayo duduk dulu, besok libur kerja kan?” pak Dedi mempersilahkanku duduk di
kursi kayu antik di terasnya. “kebetulan bapak lagi ngopi, enak kalo diselingi
martabak.” Setelah itu pak Dedi masuk ke dalam rumah.
Aku duduk menikmati udara malam,
bunga-bunga sudah mulai menguncup, belum terasa wanginya.
“nah ini kopinya, ini
martabaknya, ayo kita begadang.” Pak Dedi muncul dari dalam rumah, tersenyum
lebar. “istri saya sudah tidur, jadi ga ketahuan kalo kita begadang bareng..hahaha!”tawa
pak Dedi begitu keras, aku cemas bagaimana kalau sampai istrinya terbangun,
nanti aku yang disangka membawa pengaruh buruk untuk pak Dedi. Dan begitulah,
kami ngobrol semalaman.
###
Sudah sebulan lebih aku di sini. Dan
baru-baru ini muncul pertanyaan di benakku, aku sama sekali belum pernah
bertemu dengan istri pak Dedi sekalipun. Setiap aku ngobrol dengan pak Dedi,
pak Dedi selalu mengatakan istrinya sedang kemanalah, sedang ngapainlah. Dan aku
jarang sekali melihat pak Dedi keluar rumah, tetangga lainnya pun hanya sebatas
menyapa ketika bertemu pak Dedi, tak pernah lebih. Dan pertanyaan itu
seringkali menemaniku terlelap tidur.
Pagi ini aku bersiap-siap ke
masjid untuk sholat subuh. Sehabis sholat, yang cuma berjamaah 5 orang, aku
berjalan pulang, berlainan jalan dengan jamaah yang lain. Lalu aku melihat
sesosok tubuh keluar dari rumah pak Dedi, berjalan pelan menyusuri jalan, belok
ke gang kecil dan berhenti di pemakaman umum. Sosok itu berdiri di depan sebuah
pusara, diam membatu. Entah kenapa tadi aku tanpa sadar membuntutinya, sosok
itu tak lain adalah pak Dedi.
###
Pak Dedi tidak gila, hanya
terlalu terobsesi. Tak bisa meninggalkan kenangan. Baginya, kenangan itu adalah
kenyataan, dan realitas adalah sebuah mimpi. Pak Dedi terjebak dalam pikirannya
sendiri. Istri pak Dedi meninggal 10 tahun yang lalu. Meskipun tak dikarunai
momongan, pak Dedi teramat mencintai istrinya. Setiap detail yang dilakukan
istrinya begitu hafal di benak pak Dedi. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan,
urut-urutannya, begitu lekat di pikiran pak Dedi. Dan begitu istrinya meninggal
karena suatu penyakit, pak Dedi begitu terpukul. Seminggu setelah pemakaman,
pak Dedi mulai berubah. Bertingkah seolah-olah istrinya masih hidup. Tak ada
yang berubah, selain bayangan istrinya yang masih lekat di pelupuk mata pak
Dedi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar